TRIBUNNEWS.COM - Suku Amungme dan Kamoro yang mendiami Gunung Nemangkawi atau dikenal Grasberg di Timika, Papua, mengalami kekerasan tak berkesudahan sejak Freeport beroperasi.
Gunung suci mereka dikeruk, habis ditambang perusahaan asal AS tersebut tanpa persetujuan sang pemilik tanah ulayat. Dan kini, negosiasi baru tengah dilakukan antara pemerintah dengan Freeport.
Upaya melawan lewat jalur hukum internasional pernah dilakukan Yosepha Alomang dan Tom Beanal, dilanjutkan oleh generasi muda Amungme.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Odizeus Beanal, anak dari Tom Beanal, mantan Ketua Lembaga Masyarakat Adat Amungme pertama yang mendiami Gunung Nemangkawi di Timika, Papua, mengikuti jejak sang Ayah berjuang demi tanah leluhur mereka.
“Pertambangan ini kita ketahui bahwa, jika hari ini tidak terjadi, tujuh turunan. Kita tidak kena, tapi anak kita yang kena karena tambang ini berdampak udara, sungai, tanah, flora dan fauna, banyak hal. Ini harus dibicarakan. Karena ini persoalan yang serius. Jangan sibuk dengan saham-saham. Karena anak cucu kami akan menuntut kami nantinya,” ungkap Odizeus.
Kini, Odizeus dan orang-orang muda di organisasi Lembaga Masyarakat Adat Amungme (LEMASA), berupaya mendapatkan posisi dalam negosiasi baru antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia.
“Di sini kami berpikir bahwa kemarin setelah pemerintah keluarkan PP 1/2017 jadi momentum untuk mempertanyakan bahwa pemerintah dan perusahaan menyadari kehadiran kami atau tidak? Soalnya dulu kami ada tanpa pemerintah dan perusahaan. Kami hidup di sana, berkebun, berburu, tiba-tiba mereka datang dan kuasai. Tanpa minta izin dan menanyakan apa mau kami,” ungkap Odizeus.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang usaha Minerba, disebutkan pemegang Kontrak Karya (KK) seperti Freeport harus mengubah statusnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Freeport juga diwajibkan membangun smelter, ada pula ketentuan divestasi saham hingga 51 persen.
Semua syarat-syarat itu sebetulnya sudah tercantum sejak lama di UU Minerba tahun 2009, tapi Freeport mampu berkelit berkat sokongan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Dan di bawah Presiden Joko Widodo, Freeport, kian terjepit. Proses negosiasi pun masih berlangsung antara kedua belah pihak.
Di sinilah, Odizeus bersafari ke sejumlah pihak, mulai dari Bupati Mimika, DPRD Kabupaten Mimika, DPR RI, hingga ke Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan, mendesak agar dilibatkan dalam perundingan.
“Yang terpenting bagi kami, yaitu kami membicarakan tentang harga diri kami. Kami setara jika pemerintah dan perusahaan duduk bersama kami pemilik hak ulayat, untuk berunding. Itu harapan kami. Dan berundingnya di Timika.”
Berunding di Timika, menurut Odizeus, penting demi mengakui keberadaan suku Amungme. Toh, mereka jugalah sang empunya lahan.
Perjuangan generasi muda Amungme memperoleh haknya, sesungguhnya sudah dimulai dari Tom Beanal dan Yosepha Alomang. Keduanya menggugat PT Freeport Indonesia ke New Orleans, Amerika Serikat, pada 1996.
Dasar Tom menggugat, atas sangkaan Freeport melakukan pencemaran lingkungan akibat pembuangan tailing ke Sungai Aijkwa dan memusnahkan vegetasi hutan tropis seluas 3.300 hektar.
Di tahun yang sama, Yosepha Alomang kembali menggugat Freeport dengan tudingan melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Sialnya, dua gugatan tersebut kalah. Penyebabnya karena Tom dan Yosepha, tak bisa mengikuti persidangan karena dicegah pihak imigrasi keluar negeri.
“Waktu itu kan Tom Beanal dicekal. Jadi waktu itu gagal karena pada saat gugatan, dia mikir dia itu bangsa Indonesia dipikir akan diback-up. Tapi ternyata pemerintah melawan dia.”
Perjuangan Odizeus dan orang-orang muda di LEMASA, didukung Tokoh Masyarakat Papua, Thaha Al Hamid.
“Jikalau tahun 2019 ada pembicaraan negosiasi mengenai kontrak karya, hal ini juga harus dibicarakan. Harus melibatkan wakil masyarakat dari Timika. Di sana ada Yopi Kilangin, dll. Lemasa-Lemasko, diajak realita masyarakat di sana. Dan itu harus resmi, tidak bisa gaya preman sebagaimana yang selama ini terjadi,” kata Thata.
“Mereka cuma ingin diakui. Kami ada. masa orang Kamoro hidup dari laut, sagu, harus menanggung dari tailing. Dulu meraka kaya, punya makan tersedia, sekarang jadi susah. Mereka toh tak menuntut membawa ke New Orlends, tidak. Mereka hanya minta diakui, mereka ada di sini,” tambahnya lagi.
Begitu pula dengan Yosepha Alomang. Baginya, penyelesaian seteru dengan Freeport tak bisa lagi pakai cara-cara lama: mengguyur lewat uang.
“Saya berapa kali ketemu Moffet, saya bilang Moffet dengan cara apapun tidak bisa mengamankan saya. Kalau dia mau menyelesaikan ini, harga diri saya diselesaikan. Saya tidak izinkan dia membunuh dengan cara begini, dengan uang. Kalau tanpa itu saya tidak akan selesai,” ujar Yosepha.
Sementara itu, Yopi Kilangin, anak Moses Kilangin, salah satu tokoh suku Amungme, bercerita generasi tua yang masih hidup, kerap menangis jika mengingat tanah leluhurnya; Gunung Nemangkawi. Sebab gunung itu adalah ibu yang disucikan.
“Kalau ayah saya pas akhir-akhir hidupnya, itu memang menyaksikan. Ada rasa cukup terpukul. Sampai sekarang anak-anak yang lahir pada saat gunungnya masih ada sampai sekarang kalau ditanya menangis. Apalagi yang tahu dulu diantar ayahnya ke gunung. Jadi, kalau ditanya anak generasi sekarang, saat gunung masih ada, pasti nangis,” ujar Yopi.