Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Wacana dibolehkannya anggota DPD dari partai politik yang akan diatur dalam revisi Undang-Undang Pemilihan Umum menuai polemik.
Pengamat Politik UI Valina Singka Subekti mengatakan meski yang dimaksud anggota DPD berasal dari perseorang tidak dijelaskan secara utuh.
Namun, hakikatnya yang dimaksud perseorangan adalah tokoh daerah, atau tokoh-tokoh golongan bukan dari parpol.
"Jadi idealnya memang harus diisi oleh tokoh-tokoh daerah, bisa tokoh adat, atau tokoh masyarakat. Sebab DPD dibentuk kan mewakili daerah bukan dari parpol," ujar Valina Usia usai diskusi publik di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (23/3/2017).
Valina menilai jika DPD diisi dengan kader-kader parpol maka menjadi tidak ada bedanya dengan DPR.
Padahal, DPD dari unsur perorangan dibutuhkan agar mereka bisa bekerja secara mandiri dalam memperjuangkan kepentingan daerah masing-masing. Karena DPD punya kewenangan untuk mengurusi otonomi daerah.
"Kalau DPD dari parpol jadi overload karena itu kan sudah diisi di DPR. DPD sebaiknya tidak lagi dari Parpol, ini semata-mata supaya anggota DPD ini bisa secara mandiri untuk memperjuangkan kepentingan daerah masing-masing."
"Tidak ada kendala dalam memperjuangkan daerahnya. Jadi murni untuk kepentingan daerah," kata Valina.
Meski diakui kewenangan DPD tidak sebesar dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR. Namun, bila UU-nya diatur secara maksimal akan menjadi lebih baik.
Terlebih dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2014, yang mengatur wewenangan DPD.
"Sayangnya putusan MK ini tidak dilanjuti dan belum menjadi prolegnas dalam revisi UU MD3. Padahal DPD punya kewenangan mengajukan RUU bersama DPR, dan ikut membahasnya bersama pemerintah dan DPR sebelum diputuskan bersama oleh DPR dan Presiden. Ini kalau ditindaklanjuti akan memperkuat peran DPD dalam menyalurkan aspirasi daerah," terang Valina.
Sementara, Senator Lampung Anang Prihantoro mengungkapkan meski belum ada aturan yang melarang anggota DPD dari unsur parpol.
Namun, ia menilai masuknya unsur parpol di DPD sangat riskan bertentangan dengan etika.
"Jadi gini anggota dewan digaji dari uang rakyat untuk mengurus daerah, kalau tiba-tiba waktunya lebih banyak ngurus partai padahal yang dipakai uang jalan juga sebagian uang yang untuk ngurus rakyat dan daerah ya kan. Nah disisi itu menurut saya jadi tidak etis," kata Anang.
Apalagi, kata Anang, jika ada pimpinan parpol yang ingin menjadi Ketua DPD. Menurutnya itu bukan hanya sekedar tidak etis tapi tidak sesuai.
Sedangkan, Guru Besar Hukum Tata Negara, UI Satya Arinanto menyampaikan perlunya perbaikan undang-undang MD-3 dan Pemilu untuk mempertegas pasal-pasal tertentu terkait keterlibatan partai politik di lembaga DPD RI.
Ia menyayangkan saat UU itu dibawa ke MK, justru dimuntahkan karena dianggap diskriminatif.
"Ini sama aturan yang mengatur masa kepemimpinan DPD RI menjadi dua-setengah tahun dan berlaku surut. Menurut saya keputusan merubah tata tertib tersebut merupakan sesuatu yang inkonstitusional," jelasnya.