TRIBUNNEWS.COM - Meninggalnya Sang Istri pada 28 April 1996, konon, meredupkan aura kekuasaan Pak Harto alias Soeharto.
Bahkan, saat tampil di muka umum, ia tampak renta, tanpa cahaya.
Sesekali, matanya terkadang menerawang.
Ketiadaan pendamping, tempatnya berbagi, meronggakan kekosongan dalam hidupnya.
Kalangan spiritualis memprediksi, wahyu keprabon telah pergi darinya.
Sebab, sehari sebelum Ibu Tien wafat, konon, masyarakat Surakarta melihat seberkas cahaya hijau berbentuk ular naga melesat terbang dari Keraton Mangkunegaran.
Tak masuk akal memang, menghubungkan hal itu dengan karier seorang presiden.
Namun, langkah politik Soeharto, setelah kepergian istrinya, sungguh di luar kendali.
Cara melibas lawan politiknya terkesan vulgar dan transparan.
Padahal, sebelumnya, Soeharto dikenal pandai mengendalikan diri.
Senyumnya menyembunyikan isi hatinya.
Sebagai lelaki Jawa kebanyakan, ia berusaha menyerap budaya leluhurnya, menjadikannya pegangan dan pedoman hidup.
Puasa Senin-Kamis, ia lakoni sedari muda.
Kaweruh jiwo dari Ki Ageng Suryomentaram acap ia jadikan jargon, bahkan ia mengidolakan tokoh wayang yang mewakili rakyat jelata namun disegani para ksatria dan dewa, yakni Semar.