TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Saldi Isra, terpilih sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Dia akan menggantikan posisi Patrialis Akbar yang diberhentikan karena terjerat kasus suap dari importir daging sapi.
Presiden Joko Widodo akan melantik pria kelahiran Paninggahan-Solok, 20 Agustus 1968 itu pada Selasa (11/4/2017) mendatang.
Acara pelantikan nanti akan dibarengi dengan pelantikan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
"Semoga, saya bisa menjaga amanah sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi," tutur Saldi Isra, kepada wartawan, Minggu (9/4/2017).
Saldi berada di ranking pertama dari hasil seleksi calon Hakim Mahkamah Konstitusi.
Di urutan kedua ada nama dosen Universitas Nusa Cendana, Bernard L. Tanya, dan di peringkat ketiga, purna tugas dari Kementerian Hukum dan HAM, Wicipto Setiadi.
Ketiga nama itu diserahkan panitia kepada Presiden Joko Widodo.
Presiden ternyata kepincut melihat sepak terjang Saldi di bidang hukum.
Sebagai guru besar, dia aktif menulis di berbagai karya dalam bentuk buku dan jurnal. Dia sempat dipercaya sebagai Ketua Pansel anggota KPU dan anggota Pansel Penasihat KPK.
Penghargaan pun datang kepada suami dari Leslie Annisa Taufik dan ayah tiga orang anak itu.
Salah satunya pernah menerima penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award 2004. Penghargaan itu diraih berkat komitmen anti korupsi.
Baca: Balita Kinara Ditemukan di Kolong Ranjang, Orangtua dan Dua Kakaknya Tewas Dibunuh
"Terima kasih banyak atas ucapan dan doanya," kata dia.
Saat ini, Saldi masih bekerja sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Komisaris Utama PT Semen Padang, dan Direktur Pusat Studi Konstitusi.
Ke depan, dia siap melepaskan jabatan supaya fokus sebagai hakim MK.
Sementara itu, pihak Mahkamah Konstitusi masih menunggu kepastian resmi dari Istana Negara mengenai penunjukan Saldi Isra sebagai hakim Mahkamah Konstitusi.
Kepastian resmi itu berupa bentuk salinan Keputusan Presiden (Keppres) yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo.
"Secara resmi belum menerima surat pemberitahuan atau salinan Keppres," tambah Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono.
Pakar Hukum Tata Negara Irmanputra Sidin menilai, terpilihnya Saldi isra menggantikan Patrialis Akbar sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pilihan tepat Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Irman memastikan, Saldi Isra adalah tokoh hukum tata negara yang mewarnai proses konstitusi ketatanegaraaan sejak reformasi.
"Beliau adalah negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Oleh karenanya pilihan presiden sudah sangat tepat," puji Irmanputra Sidin, Sabtu (8/4/2017) lalu.
Dipilihnya Saldi Isra, lanjutnya, juga diharapkan akan mengakselerasi pemilihan MK pasca tertangkapnya Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
MK masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan Saldi Isra, kata Irman, adalah guru besar hukum tata negara yang akan mudah menyelesaikan pekerjaaan rumah teraebut.
"Pesan kepada beliau bahwa justice delay justice denied. Yang harus dipegang guna kepastian hukum para pencari konstitusi," ungkapnya.
Ketua Komisi Hukum DPR RI Bambang Soesatyo memuji keputusan Presiden Joko Widodo yang akhirnya memilih Saldi Isra.
"Sebagai orang muda yang selalu menyuarakan desakan bagi reformasi sektor hukum nasional, terpilihnya Saldi Isra sebagai hakim konstitusi tentunya menumbuhkan banyak harapan," kata Bambang.
"Tidak hanya mendengarkan, Saldi Isra harus menghayati aspirasi rakyat, dan berani menginisiasi terobosan bagi percepatan reformasi hukum nasional," tambah Bambang seraya menyebut, tantangan yang akan dihadapi Saldi Isra sangatlah berat.
Birokrasi di sektor hukum sarat dengan masalah. Banyak peraturan perundang-undangan tidak sejalan dengan konstitusi.
"Praktik hukum pidana marak dengan jual beli pasal-pasal. Dakwaan dan tuntutan penegak hukum bisa dinegosiasikan. Semua praktik penegakan hukum yang menyimpang itu telah melumpuhkan supremasi hukum di negara ini," papar Bambang.
"Kepercayaan rakyat pada lembaga peradilan sudah mendekati titik nol. Bagi rakyat kebanyakan, penegak hukum kadang tidak menyelesaikan masalah, tetapi lebih sering justru mengeskalasi persoalan," imbuhnya. (gle)