TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Serangan bom bunuh diri di Kampung Melayu terdiri atas dua ledakan yang berdekatan waktu dan jaraknya.
Modus seperti ini biasa dilakukan untuk memancing korban tambahan.
Namun mengapa masih banyak orang mendekat ke lokasi ledakan, meski ada kemungkinan terjadinya ledakan susulan?
Ledakan pertama kali terjadi di toilet, diikuti kemudian oleh ledakan kedua di halte bus Transjakarta.
Begitu ledakan pertama terjadi, sejumlah warga mendekat dan berupaya menolong polisi yang menjadi korban.
Baca: Kapolri: Kelompok Pengebom Kampung Melayu Tahu Cara Hindari Deteksi Intelijen
Lima menit kemudian terjadi ledakan kedua di tempat yang berjarak sekitar 10 meter dari lokasi pertama.
Wartawan BBC Indonesia, Rafki Hidayat, melaporkan bahwa puluhan warga ramai berkumpul di dekat lokasi ledakan. Beberapa ada yang berdiri melewati garis polisi.
"Polisi berkali-kali mengumumkan dengan pengeras suara agar warga pulang saja, supaya polisi bisa kerja lebih cepat. Pasalnya beberapa kendaraan polisi yang keluar masuk, sempat terhadang kerumunan warga. Tapi tetap saja mereka tetap berdiri tenang menunggu, sambil sesekali memfoto dengan handphone," ujar Rafki.
Sebaiknya menjauh
Rudi Sufahriadi, Kapolda Sulawesi Tengah yang pernah menjabat sebagai Wakil Komandan Satuan Gegana memperingatkan agar warga sebaiknya menjauh dari lokasi ledakan.
"Jangan menghampiri, karena tidak ada yang bisa dibuat oleh masyarakat kecuali menolong korban," jelas Rudi.
Menolong korban pun, menurut Rudi, tidak perlu apabila korban dilihat sudah tidak bernyawa. "Kalau korban luka segera ditolong, tapi korban meninggal dunia jangan ditolong dulu."
Apa yang harus dilakukan saat terjadi ledakan?
- Segera menjauh dari lokasi ledakan, hubungi nomor telepon 110
- Jika ada korban cedera, dapat dipertimbangkan untuk ditolong.
- Tunggu kedatangan tim Gegana yang mensterilkan lokasi.
- Laporkan ke tim Gegana jika melihat barang yang mencurigakan. Jangan coba-coba mengambil atau membukanya.
Rudi yang pernah menjabat sebagai Komandan Densus 88 di Polda Metro Jaya mengatakan hal itu menjadi prosedur standar karena rentan terjadinya ledakan susulan.
"Saya pernah jadi Kapolres Poso, itu bom Tentena ledakannya dua kali, sama seperti kejadian Kampung Melayu. (Lokasinya di) dekat pos polisi, ledakan pertama kecil, ledakan kedua pas polisi kumpul besar", kata Rudi.
Ledakan bom panci tersebut menewaskan lima orang, tiga di antara mereka polisi dan dua lainnya diduga sebagai pelaku ledakan.
Sejumlah serangan di Indonesia, sebut Rudi, kerap menyasar polisi sebagai target.
Sayangnya, bahkan polisi pun acap melupakan prosedur standar keselamatan.
"Sebenarnya SOP sudah diterapkan dimana-mana, tapi masyarakat bahkan polisi juga lupa. Pak Kapolri juga sudah mengingatkan karena menargetkannya polisi. Selalu diingatkan, selalu diingatkan, tapi lupa juga kalau ada ledakan", kata Rudi yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Pembinaan Kemampuan BNPT ini.
Kultur dan validasi sosial
Lantas, mengapa masyarakat Indonesia cenderung mendekat ke lokasi serangan alih-alih menjauh mencari keselamatan?
Ahli psikologi dari Universitas Indonesia Hamdi Muluk menjelaskan ada beberapa kemungkinan hal itu terjadi.
Pertama, masyarakat Indonesia berada dalam kultur komunal, bukan individualis.
"Masyarakat Indonesia selalu suka mengukur segala sesuatu dengan bagaimana reaksi orang di sekitar (komunal). Di satu isi ini sangat baik, orang lebih peduli dengan sekitarnya. Tapi di sisi lain, kebutuhan untuk tahu lebih banyak, jauh lebih tinggi di banding dengan masyarakat individualis", terang Hamdi.
"Masyarakat individualis dengan struktur negara yang sudah teratur cenderung mencari informasi dengan mencari di jalur resmi karena percaya dengan struktur: misalnya berita, televisi, koran dan sebagainya", lanjut Hamdi.
"Tapi bagi orang Indonesia tidak cukup, dia akan mencari juga dengan melihat. Makanya kalau ada perisitiwa, kerumunan cepat terjadi -orang berkumpul untuk sebanyak mungkin cari informasi."
Hamdi menambahkan bahwa gejala mencari validasi sosial itu dipindakan ke media sosial, seperti grup pesan instan.
Sependapat dengan Hamdi, dosen psikologi sosial dari Universitas Indonesia, Endang Mariani, mengatakan bahwa validasi sosial untuk menjadi yang pertama di media sosial menjadi salah satu alasan warga untuk mendekat ke lokasi kejadian.