TRIBUNNEWS.COM - Cerita mengenai dokter dari sebuah rumah sakit di Pamulang, Tangerang Selatan yang mengunggah sebuah pengumuman bahwa dirinya menolak pasien pengguna asuransi sempat menghebohkan dunia maya.
Disebutkan di laman KOMPAS.com, seorang dokter yang tercantum bernama dr Kiki SpA(K) M menyatakan bahwa ia akan melayani setiap pasien tanpa tekecuali.
Ia juga akan memberi keterangan reimburs atau asuransi perusahaan yang tidak menarik premi.
Namun, melalui pengumuman tersebut,tertulis terhitung mulai 1 Mei 2017, ia tidak bersedia mengisi formulir keterangan medis yang menggunakan ausransi ribawi.
"Untuk asuransi ribawi, terhitung sejak 1 Mei 2017, setelah pengobatan ananda, saya tidak bisa mengisi keterangan medis." tulis Kiki dalam unggahan pengumumannya.
Adapun asuransi ribawi yang dimaksud Kiki adalah asuransi perorangan dan asuransi perusahaan yang menarik premi setiap bulan dari gaji karyawan.
Lebih lanjut, alasan Kiki memutuskan kebijakan tersebut karena berupaya menghindari dosa riba.
"Kebijakan ini saya lakukan dalam upaya menghindari diri dari dosa riba," demikian tulis sang dokter.
Tentunya keputusan ini menuai pro kontra masyarakat.
Diberitakan oleh BBC Indonesia, media sosial mulai diramaikan oleh komentar-komentar terkait kebijakan tersebut.
Ada pula yang menceritakan kisahnya ditolak oleh dokter saat berobat dan ditunjukkan buku tentang riba.
"Hari ini anak saya harusnya kontrol lanjutan setelah pemeriksaan yang pertama... tapi entah mengapa dokter tersebut menolak bahkan menunjukkan buku tentang riba tersebut (dihadapan suami saya) yang tebal banget," begitu kisah yang banyak dibagikan di media sosial.
"Suami saya menjelaskan bahwa BPJS adalah program pemerintah dan kami termasuk kelas menengah dan tidak paham tentang peraturan riba tersebut, dokter tersebut malah menyalahkan sistem pemerintahan atau BPJS," sambungnya.
Tak jarang pula yang menanyakan mengenai kebenaran kebijakan ini.
Mereka bertanya-tanya mengenai nasib pasien yang butuh penanganan cepat dan hanya memiliki asuransi BJS untuk berobat.
"Bagaimana jika yang datang pasien sudah parah, orang tidak mampu, hanya punya BPJS untuk berobat?" tanya Kinan Fajri di Facebook. Lainnya mengatakan, "tidak punya hati nurani." tulis sebuah akun seperti dikutip dari BBC Indonesia.
Namun, ada pula yang beranggapan bahwa kebijakan seperti itu merupakan keyakinan dari masing-masing pribadai yang tidak dapat dipaksakan.
"tidak apa, itu hanya keyakinannya beliau saja. Kita harus hormati, cari dokter alternatif lain saja." tulis Donny Simatupang.
Lantas, bolehkah dokter menolak pasien berasuransi?
Apakah BPJS merupakan dosa riba menurut ajaran Islam?
Terkait hal tersebut, Nahdlatul Ulama (NU) dan beberapa ahli ikut angkat bicara.
Pasalnya, BPJS menurut NU rupanya telah sesuai dengan syariat Islam.
Simak selengkapnya!
1. Nahdlatul Ulama
Melansir dari laman nu.or.id, Forum Bhatsul Pra Muktamar ke-33 NU yang diselenggarakan PBNU di Pesantren Krapyak, Yogyakarta pada 28 Maret 2017 lalu telah sepakat mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang ditangani BPJS Kesehatan.
Forum yang diikuti para kiai dari berbagai daerah di Indonesia ini menyatakan, BPJS sudah sesuai dengan syariat Islam.
Mengenai riba dalam penggunaan BPJS, forum itu telah menerangkan bahwa BPJS tidak mengandung dosa riba sesuai definisi ajaran Islam.
Putusan ini diambil setelah para kiai berdiskusi langsung dengan Kepala Grup MKPR dr Andi Afdal Abdullah terkait pelayanan kesehatan untuk peserta BPJS.
2. Kata Kepala Departemen Komunikasi dan Humas BPJS
Kepada BBC Indonesia, Kepala Departemen Komunikasi dan Humas BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi menegaskan, hal itu adalah masalah internal rumah sakit yang tidak ada sangkut pautnya dengan BPJS.
"Kami sudah komunikasi dengan manajemen rumah sakit, prinsipnya itu tanggung jawab rumah sakit. Tinggal rumah sakit dan dokter itu bagaimana kontraknya," papar Irfan.
"Pengelolaan di dalam, siapa dokternya, siapa keuangannya, itu wewenang rumah sakit. Bagi kami, yang penting Anda rumah sakit memastikan bahwa pelayanan bagi peserta bisa dilayani, siapapun dokternya yang penting dokternya memiliki izin praktik," tambah Irfan.
Namun, ditanya mengenai dosa riba, Irfan memilih tidak berkomentar.
Menurutnya, anggapan tersebut menyangkut keyakinan dan agama masing-masing pribadi.
"Kami tidak mau masuk dalam ranah itu, kami melaksanakan sesuai UU dan ketentuan yang berlaku. Boleh jadi ada perbedaan pendapat antara A dan B, itu pilihan ya."
3. Pakar Etika Kedokteran dari Universitas Atma Jaya Jakarta
Mengutip dari KOMPAS.com, pakar etika kedokteran dari Universitas Atma Jaya Jakarta, Sintak Gunawan, mengatakan, kasus dr Kiki mencerminkan abu-abu dunia kedokteran.
"Menurut pendapat saya pribadi, dokter berhak saja menolak pasien karena kepercayaannya. Asal itu sudah diberitahukan sejak awal," katanya.
Menurut Sintak, kondisi ini mirip dengan dokter yang menolak melakukan aborsi walaupun negara tempat dia berkarir menyetujui aborsi.
Kendati demikian, hal-hal yang menjadi kepercayaan dokter hanya bisa berlaku dalam kondisi tidak darurat.
Pasalnya, setiap dokter telah disumpah untuk mengupayakan keselamatan pasien.
"Itu karena setiap dokter sudah disumpah untuk menyelamatkan pasien. Setiap dokter wajib merawat pasien paling tidak sampai melewati masa kedaruratannya," jelas Sintak kepada KOMPAS.com, Rabu (24/5/2017).
Selai itu, penolakan yang dilakukan dokter juga harus didasari faktor kepercayaan dan tidak memolitisi alasannya, seperti sengaja menolak pasien BPJS. (TribunWow.com/Maya Nirmala Tyas Lalita)