TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aksi terorisme baru saja menghantam Indonesia, Rabu (25/5/2017).
Halte Transjakarta di Kampung Melayu dibom dua pengikut ISIS yang mengakibatkan tiga anggota polisi tewas dan puluhan orang cedera.
Ironisnya teror ini hanya berselang tiga hari dari bulan Ramadan 1428H, dimana umat muslim wajib menjalankan ibadah puasa.
Meski efeknya tidak terlalu besar, teror bom Kampung Melayu tetap menimbulkan kekhawatiran terkait aksi biadab terorisme yang mungkin dilakukan di bulan Ramadan ini.
Pengamat intelijen Prayitno Ramelan mengungkapkan ada tiga unsur yang mendasari teror tersebut.
Pertama mereka tetap menjadikan polisi sebagai sasaran. Kedua serangan itu, mereka menempatkan diri sebagai instrumen yang melakukan balas dendam karena banyak teman mereka telah jadi korban dan ditangkap di kasus Cicendo, Purwakarta, dan Tuban. Dan kedua mereka ingin menunjukkan eksistensinya kepada sel-sel terorisme lainnya di Indonesia dan di luar negeri.
"Ini orang-orang Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang memiliki hubungan dengan Aman Abdurrahman dan Bahrun Naim di Suriah. Dengan aksi ini mereka ingin menunjukkan bahwa mereka masih ada dan mungkin saja untuk menimbulkan ketakutan jelang bulan Ramadan," ungkap Prayitno yang juga pensiunan bintang dua angkatan udara ini saat dihubungi di Jakarta, Selasa (30/5/2017).
Kendati demikian, lanjut Pray, panggilan karib Prayitno Ramelan, potensi ancaman terorisme di bulan Ramadan ini tidak terlalu besar, meski potensi itu tetap ada.
Itu karena para pelaku teror di Indonesia, seperti di Kampung Melayu itu, termasuk pelaku kelas bawah yang tidak paham dengan strategi besar ISIS, dimana mereka terkesan takut melakukan aksi bom di bulan Ramadan, apalagi bila korbannya orang muslim.
"Intinya, ISIS takut dimusuhi orang islam sehingga mereka sangat hati-hati dalam melakukan aksi. Makanya mereka menjadikan polisi sebagai target. Inilah yang saya sebut potensi ancaman itu tetap ada karena para pelaku, khususnya yang tergabung dengan JAD itu menggunakan ideologi ISIS yang mereka katakan islam, walaupun islam gak jelas," urai Pray.
Pray menyebut ISIS sebagai islam gak jelas karena faktanya mereka menggunakan kekerasan dan perang untuk mewujudkan tujuannya.
Sementara islam bukanlah agama kekerasan, tapi agama yang damai dan melindungi yaitu agama rahmatan lil alamin.
Pray mengaku sempat memperkirakan potensi ancaman kelompok ISIS di bulan Ramadan cukup besar. Pertimbangannya, selama ini ISIS sering melakukan aksi terornya sembarangan.
Itu berbeda dengan kelompok Al Qaeda yang sangat berhati-hati memilih sasarannya agar tidak dimusuhi rakyat Indonesia, khususnya umat muslim.
Namun seiring berjalannya waktu, ISIS kelihatannya juga akan melakukan hal yang sama agar tidak dimusuhi masyarakat, apalagi mereka selama ini sering bersembunyi di tengah masyarakat.
"Memang potensi aksi di bulan Ramadan ini kecil, tapi kita tetap harus waspada. Pasalnya, yang sel-sel kecil ini biasanya tidak berpikir pintar dan hanya sekadar ingin melampiaskan dendamnya saja sehingga bisa saja mereka melakukan aksi, terutama dengan sasaran aparat kepolisian," tutur Pray.
Sel-sel kecil itu, lanjut Pray, itu juga banyak yang tidak paham strategi besar ISIS yang ingin menunjukkan sebagai organisasi besar, eksis di Indonesia, dan mengusung tujuan khilafah tapi dengan jalan perang.
Cara ini berbeda dengan yang dilakukan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menggunakan jalur politik untuk membuat negara khilafah. Bahkan jalur politik saat ini juga dilakukan Al Qaeda.
"Seperti pelaku di Kampung Melayu kemarin, mereka itu tidak paham. Hasilnya misi bunuh diri mereka gak sesuai misi besar ISIS. Itu karena mereka didoktrin hanya untuk berjihad saja, sementara pemahaman agamanya rendah sehingga mereka hanya melakukan jihad konyol. Intinya mereka didoktrin balas dendam akibat kawan mereka ditangkap dan dihabisi polisi," papar Pray.