Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti ICW, Almas Sjafrina menilai keberadaan Pansus hak angket tidaklah sah karena tidak sesuai prosedur.
Pembentukan pansus hak angket tidak sesuai dengan mekanisme yang berlaku yakni mengacu pada pasal 199 ayat 3 undang Undang MD3 yang mengharuskan penentuan hak angket melalui voting dengan setengah jumlah anggota DPR, dan disetujui lebih dari setengah yang hadir.
"Dari persetujuan penggunaan hak angket ini pun sudah tidak demokratis dan tidak sesuai prosedur pengambilan keputusan saat memimpin rapat pembahasan usulan hak angket," ujar Almas Sjafrina dalam diskusi di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (11/6/2017).
Belum lagi menurutnya pembentukan panitia angket juga belum memenuhi pasal 201 UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 yang menyebutkan “keanggotaan panitia angket terdiri atas semua unsur fraksi DPR".
Sebab, terdapat tiga fraksi yang belum mengirim perwakilan, yaitu PKS, Demokrat, dan PKB.
Selain itu menurutnya digulirkannya hak angket kepada KPK salah sasaran. Hak angket hanya digulirkan oleh DPR kepada pemerintah. Sementara, KPK bukan bagian dari pemerintahan.
Pansus yang dinilai cacat prosedur tersebut menurut Almas berpotensi merugikan negara. Lantaran, menurutnya pembiayaan Pansus bersumber dari keuangan negara.
"Penentuan biaya panitia angket ditetapkan melalui keputusan DPR dan diumumkan dalam Berita Negara sehingga pendanaanya bersumber dari anggaran DPR," katanya.
Oleh karena itu Almas menilai pembentukan hak angket sangat kental dengan konflik kepentingan. baik itu konflik individu maupun secara kelembagaan partai.
"Patut dicurigai ini lebih ditunjukan untuk mengintervensi penanganan kasus e-KTP dan upaya pelemahan KPK akibat ditundanya upaya DPR untuk merevisi UU KPK," pungkasnya.