TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPRD Mojokerto, Purnomo, yang mengenakan baju biru tua bergaris-garis tidak mengucapkan sepatah kata pun kala turun dari mobil kijang inova berwarna hitam. Dia langsung masuk ke lobi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta Pusat, Sabtu (17/6/2017).
Purnomo digelandang ke KPK setelah terjaring OTT KPK terkait suap pengalihan anggaran di Dinas PUPR Kota Mojokerto tahun 2017, Jakarta, Sabtu (17/6).
Baca: Kronologi Penangkapan Kepala Dinas PU dan Pimpinan DPRD Kota Mojokerto
Purnomo ditangkap tadi malam, bersama dua orang wakilnya, Umar Faruq dan Abdullah Fanani, di tempat terpisah di Kota Mojokerto, Jawa Timur. Purnomo ditangkap lebih dulu lalu menyusul Umar Faruq dan seseorang yang diduga perantara berinisial H.
Di saat yang sama KPK bergerak cepat menangkap Wiwiet Febriyanto yang menjabat sebatas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Mojokerto.
Selanjutnya pada pukul 00.30 WIB, Wakil Ketua DPRD Mojokerto yang lainnya, Abdullah Fanani, juga ditangkap. Setengah jam kemudian baru perantara perantara berinisial T yang diamankan di kediamannya daerah Mojokerto.
Total enam orang yang diamankan KPK dalam OTT tersebut. Mereka lalu menjalani pemeriksaan di Polda Jawa Timur, Surabaya. Lalu pada siang ini diterbangkan ke Jakarta.
"Setelah dilakukan pemeriksaan 1×24 jam dan telah dilakukan ekspose baru saja selesai yang menjadi tersangka adalah sebagai penerima PNO sebagai ketua DPRD Mojokerto kemudian UF dan ABF merupakan wakil ketua DPRD dan sebagai pemberi adalah WF," ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat memberikan keterangan pers di KPK, Jakarta, Sabtu (17/6/2017).
Wiwiet Febrianto disangka Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara untuk Purnomo dan dua wakilnya Umar Faruq dan Abdullah Fanani disangka sebagai penerima dan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Ketiga pimpinan DPRD Kota Mojokerto diduga menerima uang Rp 470 juta dari Rp 500 juta. Uang ini diduga adalah komitmen fee untuk pengalihan anggaran dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Mojokerto tahun 2017.
Awalnya anggaran ini untuk program penataan lingkungan namun kemudian dibatalkan. Lalu pihak PU ingin mencoba mengubah dana tersebut sebesar Rp 13 miliar dari Politeknik Elektronik Negeri Surabaya (PENS).
Namun pengubahan anggaran tersebut tidak bisa karena dananya dari pemerintah pusat. Akhirnya coba diakali dan diubah melalui DPRD Kota Mojokerto.
Akhirnya dilakukan lagi pembicaraan dengan DPRD Kota Mojokerto agar anggaran tersebut dialihkan menjadi anggaran non program dinas pekerjaan umum Mojokerto.