News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pemblokiran Telegram

Ini yang Diperbincangkan Para Teroris Lewat Telegram

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pasukan antiteror di dunia, termasuk di Indonesia menemukan bahwa pendukung ISIS berbagi pesan pada aplikasi bernama Telegram.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Apa saja yang dibicarakan teroris di aplikasi layanan percakapan Telegram?

Sejak 2015, peneliti Institute for Policy Analysis of Conflict, Navhat Nuraniyah, mengikuti obrolan teroris dalam grup chat tertutup di Telegram.

Dari situ, dia menarik kesimpulan, Telegram 'lebih banyak dipakai buat gosip ketimbang merencanakan teror'.

Seperti dikutip Wartakotalive dari BBC Indonesia, Di grup eksklusif perempuan, kata Navhat, topik teratas adalah urusan personal dan gosip.

''Mereka saling bertanya sedang apa, apa kabar, bagaimana kabar anak. Diskusi religius jarang dan ini berlangsung (nonstop) 24 jam 7 hari,'' kata dia saat berbicara di diskusi panel Jakarta Foreign Correspondents Club bertema ''Digital Indonesia'', Senin (17/7/2017).

''Mereka juga punya bisnis online yang besar sekali, yang menjual segala macam mulai dari busana muslim, pakaian dalam, dan (berbagi) resep masak.''

Buat sebagian orang di grup tersebut, kata Navhat, keberadaan grup Telegram tadi menggantikan keluarga.

Khususnya bagi mereka yang mendapat penolakan keluarga setelah bergabung dengan kelompok radikal.

''Jadi semacam support group buat newbie extremist.''

Sementara itu, topik terpopuler di grup laki-laki adalah kafir.

''Yang laki-laki cenderung mengkritik kelompok muslim lain dengan sebutan kafir. Topik personal juga dominan, rekrutmen, propaganda umum, dan diskusi soal agama.''

Asumsi yang beranggapan bahwa ruang chat di Telegram ramai dengan topik merencanakan teror atau membuat bom dibantah oleh Navhat.

''Obrolan lebih mengarah ke topik personal, walau memang diskusi tentang cara membuat bom itu ada.''

Pasukan antiteror di dunia, termasuk di Indonesia menemukan bahwa pendukung ISIS berbagi pesan pada aplikasi bernama Telegram.

''Yang laki-laki cenderung mengkritik kelompok muslim lain dengan sebutan kafir. Topik personal juga dominan, rekrutmen, propaganda umum, dan diskusi soal agama.''

Asumsi yang beranggapan bahwa ruang chat di Telegram ramai dengan topik merencanakan teror atau membuat bom dibantah oleh Navhat.

''Obrolan lebih mengarah ke topik personal, walau memang diskusi tentang cara membuat bom itu ada.''

''Telegram lebih banyak dipakai buat gosip ketimbang merencanakan teror''.

Adapun, tipe komunikasi yang dipakai di Telegram menurut Navhat ada yang berupa kanal broadcast satu arah, ada grup kecil, ada juga supergrup yang jumlah anggotanya bisa ribuan.

Mengapa Telegram?
Teknologi dan internet sudah lama dipakai oleh kelompok teroris di tanah air, tepatnya mulai zaman Imam Samudera dan bom Bali.

Yang berbeda, di era media sosial sekarang, kini kelompok teroris lebih sering menggunakan Facebook dan Twitter.

''Tetapi mulai 2014, Twitter dan Facebook mulai memblokir ribuan akun yang terkait paham radikal. Laporan Twitter tahun lalu, sudah lebih dari 600 ribu akun diblokir antara 2015 dan 2016. Itu sebabnya mereka (beralih) menggunakan Telegram,'' jelas Navhat.

Selain itu, Navhat mengutip salah satu postingan dalam kanal radikal Telegram, alasan kuat mereka memilih Telegram adalah teknologi enkripsi yang ketat.

''Saya mengutip alasan mereka, tentang mengapa mereka menggunakan Telegram, yaitu karena teknologi enkripsinya. Mereka bilang mereka juga lebih percaya kepada Durov bersaudara selaku pemilik Telegram, sebab mereka punya reputasi dan mau tampil membela hak privasi. Mereka berani menolak permintaan pemerintah Rusia, contohnya waktu dimintai data kelompok oposisi Rusia. Ini memberi reputasi anti-pemerintah yang di mata teroris.''

Peta pengguna Telegram di dunia, antara lain Indonesia, Suriah, Irak, dan beberapa tenaga migran di Asia Timur dan kawasan Teluk.

Sedangkan di Indonesia, penggunanya tersebar di seluruh Jawa, Sumatera khususnya Lampung, Riau, dan Padang, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, Ambon, dan Nusa Tenggara.

''Ini menggambarkan sebaran aktual dari kelompok teroris,'' kata Navhat.

Bagaimana percakapan Telegram berubah menjadi radikal?

Navhat merujuk pada pola penggunaan Telegram oleh buruh migran Indonesia di Hong Kong. Ada lebih dari 155 ribu buruh migran yang saat ini bekerja di Hong Kong dan ada sekitar 100 yang teridentifikasi memiliki paham radikal.

Mulanya, buruh-buruh migran tersebut bergabung dengan pengajian offline yang sesungguhnya damai.

Kadang mereka tidak puas dengan pengajian atau ustad yang dianggap tidak murni dan lembek, lantaran tidak mendukung muslim di Suriah, Palestina atau tempat yang lain.

Lewat media sosial mereka menebar konten radikal, kemudian membuat jaringan sosial untuk pertemanan.

''Mereka juga terlibat online date dengan pejihad Indonesia dan pejihad lainnya di Suriah, kemudian menikahi mereka lewat video call. Beberapa ke Suriah untuk menemui suami online mereka,'' kata Navhat.

'Bahrun Naim aktif di grup Warung Kopi'

Menurut analisis Navhat, Telegram berubah menjadi platform 'menakutkan' juga akibat perencanaan teror yang dilakukan Bahrun Naim dengan menggunakan Telegram.

Kasus rekrutmen top-down paling jelas, dimana pimpinan teroris merekrut langsung anggota baru, adalah kasus Bahrun Naim.

Kelompok teroris Bahrun Naim melakukan rekrutmen lewat kanal Telegram yang punya anggota banyak, namanya Warung Kopi.

Saat ini ada banyak grup Warung Kopi yang aktif di Telegram, tetapi Bahrun Naim diketahui aktif di grup pertama.

Pada pertengahan 2015, Bahrun Naim diketahui merekrut kenalan lamanya seorang remaja dari Solo yang juga admin grup Telegram Jaisyu Daulah Khilafah (JDK).

''Pada saat itu Telegram belum punya layanan supergroup. JDK tergolong grup kecil yang tetapi punya anggota yang aktif dan berkomitmen tinggi. Mereka membuat grup-grup kecil dan salah satu orang yang ia rekrut lewat grup eksklusif ini juga ditangkap tahun 2016.''

''Untuk grup eksklusif yang lebih kecil ini mereka perlu tahu latar belakang orang yang bergabung secara offline atau ada rekomendasi orang yang mereka percayai. Sebab tujuannya adalah merencanakan teror,'' kata dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini