Problematika ketersediaan pupuk ada beberapa macam, antara lain tidak tersedia atau kurang saat dibutuhkan, ada tetapi harganya mahal (harga industri), ketersediaannya tidak tepat waktu, dan ada tetapi prosedurnya rumit atau minta cash sehingga banyak petani tidak mampu membeli.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, Pending Dadih Permana menjelaskan, untuk mengatasi problem di atas, pabrikan pupuk bersepakat menerapkan sistem manajemen distribusi 6 tepat, yaitu: Tepat Jenis, Tepat Jumlah, Tepat Mutu (kualitas dan dosis), Tepat Tempat (lokasi), Tepat Waktu dan Tepat Harga.
“Dengan menerapkan sistem manajemen ini, problema distribusi pupuk perlahan-lahan teratasi. Moral hazard dan penyelewengan pupuk bersubsidi terkait disparitas harga dapat diatasi dengan pengawasan melekat yang intensif,” urai Pending Dadih.
Untuk mengurangi pupuk subsidi tidak terserap, pemerintah akan memperbaiki data CPCL menggunakan Sistem Informasi Penyuluhan Pertanian (Simluhtan) yaitu sistem informasi berbasis IT, untuk memudahkan pengumpulan data dan komunikasi data serta update data petani dan lokasi.
“Selain itu juga memperbaiki sistem rayonisasi, meningkatkan pengawasan penyelewengan pupuk dengan mengintensifkan kerjasama dengan pihak ketiga, dan menurunkan disparitas harga antara pupuk subsidi dengan pupuk industri sehingga mengurangi peluang penyelewengan,” paparnya.
Berdasarkan Permentan Nomor 69 Tahun 2016 juncto Permentan Nomor 4 Tahun 2014, pupuk bersubsidi tahun anggaran 2017 dialokasikan sebanyak 8,55 juta ton plus 1 juta ton sebagai cadangan.
Perinciannya, pupuk urea 4,1 juta ton, pupuk SP-36 850.000 ton, pupuk ZA 1,050 juta ton, pupuk NPK 2,550 juta ton, dan pupuk organik 1 juta ton.