Namun, menurut hakim, pensehat hukum telah melakukan penafsiran sendiri.
Baca: Menteri Desa Sebut Tiga Daerah Ini Rawan Korupsi Dana Desa
Menurut hakim, Pasal 22 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada intinya untuk melindungi kepentingan hukum dalam kelancaran pengungkapan kasus korupsi.
Dengan demikian, keberatan penasehat hukum dianggap tidak mempunyai alasan hukum sah dan harus ditolak.
Selain itu, dalam eksepsi penasehat hukum juga menilai dakwaan jaksa KPK tidak sah.
Sebab, menurut penasehat hukum, penetapan tersangka Miryam tidak menunggu hingga sidang kasus korupsi pengadaan e-KTP atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto, diputus oleh hakim.
Hakim menyatakan tidak sependapat dengan penasehat hukum Miryam.
Menurut majelis, Pasal 22 UU Tipikor tidak menentukan bahwa untuk mengajukan seorang sebagai terdakwa harus menunggu perkara lain.
"Maka keberatan tidak beralasan hukum dan harus ditolak," kata Franky.
Anggota DPR RI, Miryam S Haryani, didakwa memberikan keterangan palsu di pengadilan.
Miryam diduga dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang benar saat bersaksi dalam persidangan kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Menurut jaksa, Miryam dengan sengaja mencabut semua keterangan yang pernah ia berikan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
Salah satunya, terkait penerimaan uang dari mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Sugiharto.
Dalam persidangan, anggota Fraksi Partai Hanura itu mengatakan, sebenarnya tidak pernah ada pembagian uang ke sejumlah anggota DPR RI periode 2009-2014, sebagaimana yang dia beberkan sebelumnya kepada penyidik.