Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar menilai Majelis Hakim sudah bertindak beradasarkan asas hukum menolak seluruh keberatan yang disampaikan terdakwa Miryam S Haryani dan pengacaranya.
"Hakim sudah bertindak berdasarkan asas hukum," ujar Erwin Natosmal kepada Tribunnews.com, Senin (7/8/2017).
Baca: Praperadilan Ditolak, KPK Segera Periksa Mantan Kepala BPPN Sebagai Tersangka Korupsi BLBI
Ia menjelaskan, Tipikor adalah tindak pidana khusus.
Jadi sudah seharusnya jika ada perbuatan yang melanggar Undang-Undang Tipikor masuk ke dalam ranah peradilan khusus antikorupsi.
Termasuk delik yang disangkakan kepada Miryam, yakni keterangan yang tidak benar di pengadilan Tipikor.
Lebih lanjut ia menilai putusan Miryam ini menjadi penting dalam pemberantasan korupsi.
Menurutnya, baru kali ini delik keterangan tidak benar diefektifkan penegak hukum.
Baca: Kamaluddin Akui Berikan Uang 10 Ribu Dolar AS Kepada Patrialis Akbar
"Ketegasan dalam menggunakan delik ini mempunyai implikasi signifikan dalam memberikan efek jera bagi koruptor dan kroni-kroninya," katanya.
Dalam amar putusan, majelis hakim menyatakan bahwa Pengadilan Tipikor berwenang mengadili dan memutus perkara terhadap terdakwa Miryam S Haryani.
Hakim menetapkan bahwa persidangan berlanjut pada pemeriksaan perkara.
Melalui eksepsi, penasehat hukum Miryam menilai bahwa kasus keterangan palsu yang didakwakan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya diperiksa dan diadili di pengadilan umum, bukan pengadilan Tipikor.
Namun, menurut hakim, pensehat hukum telah melakukan penafsiran sendiri.
Baca: Menteri Desa Sebut Tiga Daerah Ini Rawan Korupsi Dana Desa
Menurut hakim, Pasal 22 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada intinya untuk melindungi kepentingan hukum dalam kelancaran pengungkapan kasus korupsi.
Dengan demikian, keberatan penasehat hukum dianggap tidak mempunyai alasan hukum sah dan harus ditolak.
Selain itu, dalam eksepsi penasehat hukum juga menilai dakwaan jaksa KPK tidak sah.
Sebab, menurut penasehat hukum, penetapan tersangka Miryam tidak menunggu hingga sidang kasus korupsi pengadaan e-KTP atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto, diputus oleh hakim.
Hakim menyatakan tidak sependapat dengan penasehat hukum Miryam.
Menurut majelis, Pasal 22 UU Tipikor tidak menentukan bahwa untuk mengajukan seorang sebagai terdakwa harus menunggu perkara lain.
"Maka keberatan tidak beralasan hukum dan harus ditolak," kata Franky.
Anggota DPR RI, Miryam S Haryani, didakwa memberikan keterangan palsu di pengadilan.
Miryam diduga dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang benar saat bersaksi dalam persidangan kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Menurut jaksa, Miryam dengan sengaja mencabut semua keterangan yang pernah ia berikan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
Salah satunya, terkait penerimaan uang dari mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Sugiharto.
Dalam persidangan, anggota Fraksi Partai Hanura itu mengatakan, sebenarnya tidak pernah ada pembagian uang ke sejumlah anggota DPR RI periode 2009-2014, sebagaimana yang dia beberkan sebelumnya kepada penyidik.