TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sikap pemerintah terhadap organisasi masyarakat (ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan ormas lain yang dianggap radikal diakui memang berbeda menurut anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), Mahfud MD.
Dalam diskusi di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Jakarta Pusat, Senin (21/8/2017), Mahfud menyebut HTI tidak bisa disamakan dengan ormas-ormas lain yang suka main hakim sendiri hingga melakukan aksi polisionil seperti 'sweeping.'
Oleh karena itu penanganannya berbeda.
"(HTI) Tidak melakukan sweeping, tidak punya tindakan fisik. Tapi punya gagasan mengganti dasar negara, dengan cara-cara yang sistematif, bertahap," ujar Mahfud.
HTI dicabut keabsahannya oleh pemerintah karena mengusung gagasan khilafah atau sistem kepemimpinan Islam.
Baca: Sempat Viral, Benarkah Kepala Dinas Pendidikan di Madiun Simpatisan HTI? Ini Penjelasannya
Ia dibubarkan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2017, atas Undang-Undang (UU) nomor 17 tahun 2013 tentang ormas.
Melalui perppu nomor 2 tahun 2017, pemerintah memangkas mekanisme pembubaran ormas yang sebelumnya diatur di UU ormas.
Dengan perppu tersebut, kini pemerintah melalui kementerian terkait bisa mencabut kebasahan ormas, tanpa mekanisme pengadilan.
Sebelumnya pemerintah mengeluarkan UU ormas untuk mengantisipasi ormas-ormas yang melakukan aksi-aksi polisionil seperti sweeping
Dengan UU ormas, aparat pemerintah bisa menindak ormas, dengan sebelumnya mengeluarkan surat peringatan.
Namun terhadap aksi untuk mengganti dasar negara, cara yang sama tidak bisa diterapkan menurut Mahfud.
"Kalau sifatnya (kejahatan) ideologis, misalnya mengganti ideologi negara, melanggar konstitusi, tidak bisa peringatan satu, peringatan dua peringatan tiga," katanya.