TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Wacana dan langkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mewajibkan para siswa di sekolah menyanyikan kembali lagu Indonesia Raya dalam versi tiga stanza pada kesempatan-kesempatan tertentu mendapat perhatian dan kritik dari Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon.
Menurutnya, wacana itu sebaiknya dikaji kembali dengan memperhatikan pendapat para sejarawan dan pendidik, tidak sepihak diwajibkan oleh kementerian.
"Sebaiknya sebelum melontarkan wacana dan mulai mensosialisasikan kembali lagu ‘Indonesia Raya’ versi lengkap tiga stanza, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengkaji secara mendalam persoalan tersebut dengan meminta pendapat para sejarawan dan tokoh pendidikan terlebih dahulu," saran Fadli, Jumat (25/8/2018).
"Ini persoalan yang bisa melahirkan kontroversi. Bahkan, sepuluh tahun lalu persoalan ini pernah jadi kontroversi," ia mengingatkan.
Jika merujuk kepada Peraturan Pemerintah No. 44/1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, dan UU No. 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, lagu ‘Indonesia Raya’ lanjut Fadli, memang bisa dinyanyikan dengan cara satu stanza atau cara tiga stanza.
Kedua-duanya sama-sama dibenarkan oleh undang-undang."Masalahnya, selama lebih dari setengah abad, bahkan hampir dalam semua acara resmi kenegaraan sejak kita merdeka, pada praktiknya kita hanya menyanyikan lagu kebangsaan versi satu stanza saja, tak pernah lengkap tiga stanza," ujarnya.
Jika kini, pemerintah mewajibkan para siswa di sekolah untuk menyanyikan lengkap tiga stanza, menurut Fadli, bisa memunculkan beberapa persoalan. Secara teknis akan memunculkan kebingungan di tengah masyarakat umum, terkait mana versi yang benar dalam menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Dari sudut legal,imbuh Fadli, kedua-duanya memang dibenarkan. Tapi mewajibkan menyanyi lagu kebangsaan dengan tiga stanza akan menabrak praktik dan konvensi yang telah melembaga di tengah masyarakat selama puluhan tahun.
"Kedua, kalau kita membaca kembali Pasal 60 dan 61 UU No. 24/2009, lagu kebangsaan kita memang diutamakan untuk dinyanyikan dengan cara satu stanza, sebab cara inilah yang pertama kali disebut dalam undang-undang," tuturnya.
Ada tiga ayat yang mengatur bagaimana menyanyikan lagu kebangsaan dengan satu stanza. Adapun Pasal 61, yang membuka opsi dinyanyikan lengkap tiga stanza, posisinya hanya opsional saja, sekadar alternatif, yang ditandai oleh kata ‘apabila’ di awal pasal.
"Sekali lagi, tidak salah jika kita menyanyikan lengkap tiga stanza. Tapi karena secara teknis durasi menyanyikan lagu kebangsaan akan jadi lebih panjang, dari semula 2 menit kemudian menjadi lebih dari 4 menit, sejak dulu opsi tiga stanza ini tak pernah dikedepankan oleh undang-undang dan peraturan protokoler yang berlaku," paparnya.
"Saya berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meninjau kembali edaran yang meminta siswa dan sekolah wajib menyanyikan lagu kebangsaan dalam versi lengkap tiga stanza," katanya lagi.
Kalau agar siswa tahu, hapal untuk kepentingan pelajaran sejarah atau pelajaran kesenian, tak masalah. Menjadi bermasalah dijadikan kewajiban, apalagi harus diperdengarkan dalam tiap upacara, karena hal itu bisa membingungkan, baik siswa, guru, maupun masyarakat secara umum.
Dijelaskan, dari sudut pandang yang lebih luas, haruslah sama-sama memahami jika lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam perjalanan sejarahnya pernah memiliki sejumlah versi lirik dan versi menyanyikan.
Dalam teks awalnya, misalnya, lanjut Fadli, yang digubah oleh Wage Rudolf Supratman, tidak ada kata ‘Merdeka’ di dalamnya. Ada yang menyebut W.R. Supratman sengaja menyembunyikan kata Merdeka itu dengan kata ganti Moelia, agar tak dibredel Belanda.
Kata Merdeka baru muncul jauh kemudian. Aransemennya juga beberapa kali mengalami penyempurnaan. Tempo, dan aransemennya terakhir disempurnakan oleh Jos Cleber, atas saran-saran dari Bung Karno.
"Adanya sejumlah versi itulah yang kemudian telah mendorong para pendiri Republik pada 1944 membentuk Panitia Lagu Kebangsaan. Ada Koesbini, Ki Hadjar, Yamin, Sanusi Pane, atau C. Simanjuntak di dalamnya," kata Fadli.
Cara orang memperdengarkan dan menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’ tetap beragam. "Itu sebabnya, sesudah kita merdeka, pada 1948 kemudian diterbitkan Penetapan Presiden No. 28/1948 tentang Panitia Indonesia Raya, dan sepuluh tahun kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 44/1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya," imbuhnya.
"Tujuannya adalah, untuk mengatur dan menyeragamkan cara menyanyikan lagu kebangsaan kita," sambung Fadli.
Ia berharap, jangan sampai aturan baru Kementerian Pendidikan kemudian membuat praktik menyanyikan lagu kebangsaan menjadi beragam kembali. Belum lagi, dari sudut pandang pedagogi, untuk membuat siswa hapal versi satu stanza saja kini banyak guru atau sekolah kesulitan melembagakannya.
Apalagi jika harus mendorong hapalan tiga stanza! Kementerian harus bijak dalam merancang aturan. Jangan sampai para siswa kita akhirnya jadi malah malas sama sekali menghapalkan lagu kebangsaan tanah airnya, akibat kebijakan yang tidak tepat,"sarannya.
Awal bulan lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengungkapkan, akan mewajibkan sekolah-sekolah untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya yang asli yakni dalam tiga stanza atau kumpulan larik.
Muhadjir menyatakan Indonesia Raya yang selama ini dikenal oleh masyarakat hanya terdiri dari satu stanza saja. "Saya sudah dua kali pimpin lagu Indonesia Raya tiga stanza. Saya tidak tahu kenapa kini menjadi hanya satu stanza, kan jadi tidak utuh, ibarat, badan itu hanya kepalanya saja," ujarnya.
Hal itu disampaikannya usai acara penandatanganan kerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi di Gedung A Kemendikbud, Jakarta Pusat, Kamis (3/8/2017) lalu.