TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam kekecewaan atas penangkapan Walikota Tegal, Siti Masitha Soeparno oleh KPK atas dugaan suap, Menteri dalam negeri, Tjahjo Kumolo melontarkan perenungan tentang falsafah kehidupan masyarakat berbudaya jawa.
Dilansir situs resmi kemendagri, Tjahjo mengaku sedih, karena dirinya kenal dengan Siti.
Tulisan yang ia tulis, katanya, agar menjadi renungan bagi semua termasuk dirinya untuk terus memahami area rawan korupsi. (BACA: Mendagri Sedih, Masih Ada Walikota Tertangkap KPK)
Dalam pesannya Tjahjo pun membuat wejangan terkait manusia yang tidak pernah puas.
Tulisan ini dibuat untuk menjadi renungan baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Berikut tulisan Mendagri:
Menginginkan sesuatu secara berlebihan akan menggendong lupa atau siapa pun yang terlalu besar melik-bhs Jawa - (keinginan, pamrih) akan sesuatu, ia akan mudah melanggar tata aturan dan norma.
Melik berbeda dengan keinginan. Keinginan sama dengan angan-angan, cita-cita. Melik bersifat lebih keras, lebih parah, dan jika sudah terpaksa, orang yang memiliki melik akan melakukan cara apapun.
Tidak heran, jika sudah sampai taraf melik, padahal sesuatu yang dimeliki tersebut sulit tercapai, orang yang ber-melik akan menganggap tidak ada salahnya untuk mencuri. Bila terpaksa harus merebut, ia juga akan melakukannya.
Siapapun yang memiliki melik (keinginan berlebihan), pasti hatinya penuh hawa nafsu. Nalar macet, akal buntu, rasa kemanusiaan juga lenyap. Yang dikejar Cuma satu, yaitu bagaimana agar yang diinginkan itu secepatnya dapat diraih.
Jika sudah pada posisi demikian, tidak mengherankan bila ia seolah-olah kerasukan kojur tenan. Meminta juga tidak merasa malu, mencuri juga boleh. Segala cara dihalalkan. Toh, yang namanya aturan, batasan, kemanusiaan, hanyalah buatan manusia.
Semua bisa diubah, dibuang, diinjak di bawah telapak kaki. Saat itu, semua menjadi tidak perlu karena yang perlu hanyalah bagaimana melik-nya bisa tercapai....alias kojuuuuuuur........kojuuuuuuur....