Deputi Penindakan bertindak sebagai user dan akan mengirimkan nomor target yang akan disadap. Lalu, Deputi Inda melakukan penyadapan. Sementara, Deputi PIPM melakukan audit dari seluruh rangkaian kegiatan penyadapan.
Hary menjelaskan, meskipun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan tidak berwenang mengaudit penyadapan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK), bukan berarti kegiatan itu tidak diawasi.
"Kami diaudit (oleh PIPM), setiap tiga bulan sekali," kata Hary.
Sementara soal teknis, Hary mengatakan, nomor target yang disadap juga tentu tidak sembarangan dan harus terkait dengan kasus hukum tengah ditangani KPK.
Pasalnya, mesin juga punya keterbatasan dimana nomor hanya bisa berada di dalam mesin selama 30 hari.
Jika lebih dari waktu tersebut, mesin akan mengganti nomor lain.
"Nomor yang disadap itu untuk 30 hari. Ketika 30 hari terlampaui maka mesin akan cancel dan nomor lain masuk. Jadi, seperti antrean," katanya.
Setelah penyadapan akan dibuat rangkuman. Tidak semua kata dari mesin sadapan diterjemahkan. Pasalnya, ada beberapa hal yang tidak dimasukkan karena dianggap sebagai privasi pihak yang disadap.
Lebih lanjut, Hary menjelaskan soal surat izin penyadapan. Dia menyebut surat penyadapan hanya berlaku 30 hari pertama. Jika selama 30 hari pertama tidak ada hasil, untuk melakukan penyadapan berikutnya dengan nomor yang sama harus mendapatkan surat perintah yang ditandatangani lima komisioner.
"Jika tidak ada surat perintah penyadapan lagi, akan kami hentikan. Kalau mau diulang, harus diterbitkan sprindap baru," katanya.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi III Bambang Soesatyo menilai, jika mekanisme itu telah berjalan dengan baik, maka semua pihak jadi lebih paham.
"Benar tidak? Kalau ini berjalan benar, tenang kita," kata Bambang.