News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Penyergapan Kepala Daerah Melalui OTT KPK Cermin Kegagalan Sistem Pencegahan Korupsi

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bambang Soesatyo

Ada pula sosok Patrialis Akbar yang disergap saat masih menjabat Hakim Konstitusi. Lalu ada sosok Irman Gusman yang disergap saat masih menjabat Ketua DPD.

Belum lagi penyergapan terhadap oknum hakim, oknum jaksa dan penegak hukum lainnya, termasuk oknum pejabat di Mahkamah Agung (MA).

Terakhir sasaran bergeser bupati dan wali kota terutama yang berasal dari PDIP dan Golkar.

Bagi masyarakat pada umumnya, target-target besar yang berhasil dijaring KPK itu menjadi bukti bahwa KPK memang tidak pandang bulu.

"Secara psikologis, kinerja KPK itu mestinya membuat siapa pun takut atau jera. Sayang, nyatanya efek jera tidak pernah muncul. Sebaliknya, oknum pemerintah dan oknum anggota parlemen terus bertambah," katanya.

Tidak adanya efek jera itu tampak sangat jelas dari rentetan OTT oleh KPK dalam beberapa pekan belakangan ini, Sabtu (16/9/2017) pekan lalu, giliran wali kota Batu yang berasal dari PDIP yang terjaring OTT KPK.

Dimana sebelumnya Bupati Batubara dari Golkar yang kena OTT. Bisa dipastikan bahwa akan ada lagi oknum pemerintah yang terjaring OTT KPK.

"Yang menjadi pertanyaan kita adalah, apakah OTT telah melalui prosedur hukum yang benar sebagaimana diatur dalam UU. Sebab, apa yang kerap terjadi dalam berbagai penangkapan itu benar-benar OTT atau jebakan?" katanya.

Bambang meyakini, apa yang dilakukan KPK sebelum penangkapan itu terjadi tidak mungkin tanpa penyadapan, perekaman, infiltrasi atau bahkan penyusupan.

Menurutnya, mereka yang jadi target operasi tersebut sebelum terjadinya penangkapan dalam OTT, jelas belum ada status kasusnya.

Apakah itu tingkat penyelidikan atau tingkat penyidikan. Padahal dasar untuk 'penyadapan' itu sebagai mana diatur dalam SOP KPK harus pada status penyelidikan (adanya bukti awal yang cukup) dan ditandatangani sekurang-kurangnya tiga dari lima pimpinan KPK yang ada.

"Jadi, bagaimana bisa menyadap atau OTT padahal tahapan penyelidikan saja belum. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah telah terjadi penyadapan liar atau illegal interception di KPK? Jika benar, hal ini adalah kejahatan," kata Bambang.

Lebih lanjut politikus Partai Golkar ini menjelaskan, jumlah penindakan atau OTT tidak bisa dijadikan satu-satunya tolok ukur keberhasilan pemberantasan korupsi.

"KPK perlu memberi prioritas dan fokus pada sistem pencegahan. Dalam merumuskan program pencegahan korupsi, KPK tidak mungkin bisa bekerja sendiri. Minimal, KPK harus bekerjasama dengan inspektorat jenderal pada institusi kementerian serta inspektorat daerah pada tingkat pemerintah daerah," katanta.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini