News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Wakil Ketua DPR Sebut Pimpinan Visioner Dibutuhkan Hilangkan Patologi Birokrasi

Editor: Ferdinand Waskita
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

taufik kurniawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menilai sosok pemimpin visioner menjadi solusi yang seimbang dalam mengatasi patologi atau penyakit dalam tubuh bikrokasi dan munculnya semangat meritokrasi sistem administrasi Indonesia.

Hal itu dikatakan Taufik Kurniawan usai mengajar di Program Magister Administrasi Publik Universitas Diponegoro, Semarang, Sabtu (28/10/2017).

Taufik menjelaskan patologi birokrasi dapat terlihat antara lain tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), penyalahgunaan kekuasaan, dan penempatan seorang tidak berdasarkan pandangan objektif.

Baca: Sekjen PKB: Sumpah Pemuda Jangan Sekadar Jadi Fosil Sejarah

Dia menjelaskan di era Orde Baru, patologi birokrasi sangat terlihat sekali dalam penempatan pejabat harus berdasarkan rekomendasi dari keluarga Presiden Soeharto.

Sehingga banyak kepala daerah merupakan mantan ajudan Presiden Soeharto.

"Kita tidak bisa membiarkan patologi birokrasi melebar karena bisa terjadi klimaks yaitu ketidakpercayaan masyarakat. Namun juga harus menyiapkan rakyat secara bertahap memahami arti penting meritokrasi karena kalau tidak terkoneksi, akhirnya bisa balik kepada patologi," kata Taufik dalam keterangan tertulis.

Wakil Ketua Umum PAN itu menilai di era reformasi, muncul harapan agar sistem meritokrasi bisa diterapkan, yaitu penempatan seorang birokrat di pemerintahan berdasarkan pandangan objektif, berbasis kinerja, dan menerapkan asas profesionalisme.

Menurut dia, penerapan meritokrasi merupakan bentuk ideal dalam sistem aparatur sipil negara namun harus dilihat secara empiris kondisi masyarakat, sehingga penerapannya harus secara perlahan-lahan.

Baca: Ini Kriteria Pemuda Zaman Now Menurut Zulkifli Hasan

"Kita tidak hanya melihat dari kajian akademis saja namun lihat apakah masyarakat sudah siap atau belum misalnya kapasitas kemampuan pemimpin, 'key performance index' hanya karena euphoria," ujarnya.

Dia mengingatkan di era reformasi ini politik uang masih terjadi karena beberapa faktor misalnya terkait mentalitas masyarakat dan kondisi kemiskinan yang gampang terpengaruh dengan godaan penyakit demokrasi.

Menurut dia meskipun Indonesia melakukan proses reformasi, namun ada sekelompok orang tidak bertanggung jawab tidak menyadari esensinya sehingga menjual kemiskinan dan memberikan janji-janji politik.

"Reformasi masih menjual kemiskinan dan politisasi sehingga akhirnya hanya janji-janji politik, belum dalam bentuk paparan visi dan misi agar masyarakat bisa sadar dalam memilih," katanya.

Karena itu, Taufik menilai calon pemimpin yang visioner dibutuhkan untuk mewujudkan sistem meritokrasi dan secara teori pemimpin tersebut dilahirkan dan dibentuk.

Dia menjelaskan pimpinan visioner dilahirkan dari proses elektoral yang di dalamnya ada partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi karena memiliki sistem pendidikan politik untuk menciptakan kader-kader terbaik yang dipersiapkan untuk menjadi calon pemimpin.

"Calon pemimpin visioner untuk meritokrasi dan kaum muda harus 'melek' politik praktis namun harus bertanggung jawab karena partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi," ujarnya.

Namun dia mengingatkan di era reformasi, pemimpin visioner ditentukan oleh rakyat karena mereka yang memilih namun tetap saja ada beberapa hal yang mempengaruhi elektoral seperti partai politik, politik uang, lembaga survei yang mengorbitkan nama calon, dan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam sistem demokrasi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini