News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Radikalisme di Kalangan Pelajar dan Mahasiswa Jadi Bahan Evaluasi Penerapan Kurikulum Pendidikan

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Diskusi terkait hasil survei kerjasama Alvara Research Center dan Mata Air Foundation di Jakarta, Selasa (31/10/2017). Survei menunjukkan bahwa 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Kemahasiswaan Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti, Didin Wahidin mengatakan bahwa kurikulum Pancasila dan keagamaan yang benar di kalangan pelajar dan mahasiswa perlu dibenahi.

Sebab, paham radikal di kalangan mahasiswa dan pelajar ternyata sudah sangat membahayakan.

Hal ini disampaikan Didin menanggapi hasil survei dari Alvara Research Center yang menyatakan bahwa 23,4 persen mahasiswa dan pelajar terjangkit paham radikal.

Didin mengatakan, survei Alvara memberikan input penting bagaimana kegiatan kemahasiswaan akan dilakukan.

"Hasil survei Alvara membuat Kemenristekdikti terkaget-kaget. Sebab masuknya gerakan kemahasiswaan yang membuahkan deklarasi-deklarasi masih terus berkembang," ujar Didin ketika menjadi pembicara dalam rilis hasil survei Alvara, di Jakarta, Selasa (31/10/2017).

"Dan radikalisme di kalangan mahasiswa dan pelajar sangat mengkhawatirkan, sekaligus menjadin PR bagi Kemenristekdikti," ujar Didin menambahkan.

Baca: Survei: 23,4 Persen Mahasiswa dan Pelajar Terjangkit Paham Radikal

Didin menjelaskan, ada 4.600 perguruan tinggi yang ada dan terdaftar di Kemenristekdikti. Dari sini ada disparitas sangat lebar antara perguruan tinggi paling hebat dan paling tidak hebat.

Menurut Didin, lemahnya pendalaman pemahaman keagamaan di kalangan pelajar dan mahasiswa memang bisa menunjukkan sesuatu yang kurang pas dalam kurikulum.

Selama ini faham radikal tumbuh pesat, padahal mata kuliah Pancasila, kewarganegaraan, dan mata kuliah keagamaan juga diadakan dan menjadi matakuliah wajib.

"Ini catatan kita. Dan memang, pendidikan agama di sekolah dan kampus juga lebih banyak ke pelajaran fiqih saja. Dari SD, SMA sampai kuliah ya belajarnya sholat, puasa, zakat dan lainnya. Kalau soal kehidipan bagaimana pemahaman sosial agama belum ada. Makanya secara kurikuler kita harus bangun ke sana," jelas Didin.

Lebih jauh ia menjelaskan, selama ini ada kemungkinan kuat bahwa Perguruan Tinggi ada yang lalai soal bobot pembelajaran kebangsaan. Sebab banyak perguruan tinggi yang fokusnya hanya pada pemeringkatan, sedangkan di dalam kampusnya tak ada kegiatan kemahasiswaan termasuk yang sifatnya sosial dan keagamaan.

"Inilah kemudian kalau terjadi penurunan kaderisasi keanggotaan HMI, PMII, GMNI, IMM dan lainnya di universitas terkemuka maka kemudian diisi oleh organisasi dan komitmen keagamaannya lainnya yang kita ragukan bersama kebenarannya," imbuh Didin.

Diakui Didin, sejauh ini memang belum ada standarisasi kegiatan kemahasiswaan dalam penilaian perguruan tinggi negeri. Artinya, Perguruan Tinggi kalau tak melakukan kegiatan kemahasiswaan memang belum ada sanksi.

"Kegiatan kemahasiswaan penting sekali sebagai wahana penumbuhan kesadaran ajaran agama, solidaritas, kebangsaan dan sebagainya. Maka jadi penting kita tumbuhkan kegiatan kemahasiswaan dalam bobot pemeringakatan perguruan tinggi" jelasnya.

Diingatkan Didin, pendidikan secara utuh menyangkut 4 hal, yakni keilmuan, pendidikan karakter, keIndonesiaan, dan
kesadaran global. Dari survei ini, tampaknya sentuhan pada pendidikan karakter dan keIndonesiaan harus diperkuat. Karena 4 hal ini harus tumbuhkan bersama.

Pada akhirnya, Didin menegaskan bahwa hasil survei Alvara ini akan dijadikan dasar masuman bagi Kemsnristekdikti untuk memperkaya pertimbangan tentang apa yang harus dilakukan kedepan, serta arah kebijakan yang akan diambil.

Sementara itu, Ketua Alumni Universitas Diponegoro Achmad Muqowam mengatakan, pandangan mahasiswa tentang khilafah memang sangat mengkhawatirkan karena me capai 17,9 persen. Angka ini naiknya luar biasa dibanding 5 atau 10 tahun ke belakang.

"Dulu pada tahun 2009-2010 ketika bicara negara Islam angkanya masih dibawah. Sekarang sudah melompat luar biasa 17,9 perseb. Ini perlu dijadikan kewaspadaan kita semua," ujar Muqowam.

Anggota DPD RI ini menambahkan, apa pun yang berkaitan dengan menegakkan negara Islam perlu memahami adanya himpitan antara perilaku kemanusiaan dan perilaku keagamaan. Orang ke Palestina, ke Afghanistan, ke Pakistan, harus clear akan nilai Islam dan kemanusiaan.

"Awal profilnya kemanusiaan, nanti yang dikembangkan di sana justru tidak sekedar kemanusiaan. Bahkan kemudian melakukan tindakan lain," imbuh Muqowam.

Muqowam juga menilai bahwa adanya faham negara Islam atau khilafah di kalangan pelajar mahasiswa sangat luar biasa bahaya.

"Karena dari kalangan mereka itulah nanti yang mengisi semua sektor kelembagaan di bangsa ini," ungkapnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini