TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi, Jumat (10/11/2017), kembali menetapkan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto (SN) sebagai tersangka korupsi e-KTP.
Seperti diketahui penetapan ini adalah kali kedua karena sebelumnya status tersangka Setya Novanto sempat gugur lantaran menang melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan pihaknya sangat hati-hati dalam penetapan tersangka kali kedua ini.
Dimana putusan praperadilan dipelajari dengan seksama termasuk juga putusan Mahkamah Agung dan Aturan hukum yang lainnya seperti UU KPK.
Selama proses penyelidikan, lanjut Febri, penyidik telah memeriksa banyak saksi dan temuan beragam bukti yang dianalisis.
Baca: Kembali Ditetapkan Jadi Tersangka, GMPG Desak KPK Jemput Paksa Setya Novanto
Baca: 35 Fakta Menarik Setya Novanto: Pedagang Beras, Ketua Umum Golkar, Hingga 2 Kali Jadi Tersangka
Setelah dirasa memiliki bukti permulaan yang cukup kemudian disepakati kasus dinaikkan ke penyidikan dan kembali mentersangkakan Setya Novanto.
"Dalam beberapa hari ke depan, pemeriksaan saksi-saksi akan terus dilakukan terkait perkara ini. Terkait pemeriksaan tersangka tentu saja dalam penyidikan didalam kasus ini akan ada agenda pemeriksaan tersangka. Kapan pemeriksaan tersangka itu dilakukan tentu nanti kami sampaikan lebih lanjut," terang Febri di KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Lantas akankah penyidik melakukan jemput paksa pada Setya Novanto yang sudah dua kali mangkir panggil sebagai saksi untuk tersangka Anang Sugiana?
Termasuk mangkir panggilan saat proses penyelidikan 13 dan 18 oktober 2017?
Febri menjawab pihaknya masih mempelajari alasan Setya Novanto yang meminta KPK meminta izin presiden apabila hendak memeriksanya.
"Kami sedang mempelajari UU MD3 tekait dengan izin presiden sesuai dengan alasan yang bersangkutan saat dipanggil sebagai saksi," tambah Febri.
Diketahui, dalam proses penyidikan korupsi e-KTP dengan tersangka Anang Sugiana, KPK melayangkan panggilan dua kali pada Setya Novanto pada 30 Oktober dan 6 November 2017.
Di panggilan pertama, Setya Novanto beralasan ada tugas kenegaraan mengunjung konstituennya di masa reses DPR, lalu di panggilan kedua dia beralasan pemeriksaan dirinya harus atas izin presiden.
Ketidakhadiran Setya Novanto ini diketahui lantaran KPK menerima surat tertanggal 6 November 2017 dari Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR yang ditandatangani Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal DPR, Damayanti.
Baca: Fakta Persidangan: Ada Tanda Terima Rp 1 Miliar dari Setya Novanto Kepada Made Oka Masagung
Dalam surat tersebut Sekjen DPR menyatakan, Setya Novanto tidak dapat memenuhi panggilan penyidik KPK.
Sekjen DPR berdalih pemeriksaan terhadap Setya Novanto sebagai Ketua DPR harus berdasar izin Presiden.
Menurutnya itu sesuai dengan ketentuan Pasal 254 ayat (1) UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menyebut 'Pemanggilan dan Permintaan Keterangan untuk Penyidikan terhadap Anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
Alasan Sekjen DPR ini terasa janggal oleh banyak pihak.
Hal ini lantaran Pasal 245 ayat (3) menyatakan, ketentuan sebagaimana Pasal 245 ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup atau disangka melakukan tindak pidana khusus.