TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebentar lagi tahun 2017 akan meninggalkan kita semua berganti menjadi tahun 2018.
Di tahun baru ini, bangsa Indonesia kembali akan menghadapi berbagai gejolak politik seiring digelarnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak.
Seperti diketahui, tahun 2018 ini akan digelar Pilkada serentak di 171 daerah yang terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Kemudian 2019, Indonesia menghadapi gelaran nasional Pemilihan Presiden (Pilpres).
Menyikapi kondisi ini, masyarakat Indonesia diharapkan untuk belajar banyak dari pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta lalu.
Seperti diketahui, Pilkada DKI Jakarta berlangsung ‘panas’ dan menimbulkan kegaduhan nasional.
Hal itu dipicu dengan pernyataan salah satu cagub Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dinilai melecehkan agama Islam.
Kontak pernyataan itu menimbulkan gejolak nasional yang sempat mengancam perdamaian di Bumi Pertiwi.
“Penguatan toleransi dan kerukunan di masyarakat harus terus dipompakan, baik secara formal maupun non formal. Ini sangat diperlukan dalam situasi tahun politik 2018 dan 2019 agar masyarakat bisa paham dan kebal dengan berbagai propaganda politis yang berpotensi menimbulkan perpecahan di masyarakat,” ungkap tokoh kebangsaan Hj. Lily Wahid, Kamis (28/12/2017).
Menurut mantan anggota DPR RI dari Fraksi PKB ini, Pilkada DKI Jakarta lalu telah menimbulkan kerusakan dalam kehidupan bermasyarakat. Itu akibat ‘perang’ politis yang sangat tajam, bahkan menyentuh hal-hal yang paling sensitif dalam ‘tubuh’ bangsa ini yaitu SARA.
Senjata utama untuk meredam hal itu agar tidak terjadi pada 2018 dan 2019 adalah dengan kembali memperkuat toleransi dan kerukunan antar umat beragama, suku, dan golongan.
Ia menilai, Pilkada DKI Jakarta lalu telah meninggalkan ‘luka’ dalam masyarakat Indonesia. Karena itu, pemerintah melalui lembaga-lembaga yang berkompeten harus terus melakukan sosialisasi penguatan kembali nilai toleransi dan kerukunan antar umat beragama untuk meredam kemungkinan terjadinya kampanye-kampanye negatif.
“Sebetulnya yang luka itu hanya beberapa kelompok saja. Tapi lukanya dibawa terus-terusan sehingga mereka tidak bisa kembali ke kehidupan normal. Sebenarnya, itu hanya perasaan mereka yang didramatisir sendiri. Kalau tidak ditangani dengan benar, ini bisa jadi bibit-bibit radikalisme dan terorisme,” papar cucu pendiri NU ini.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menguatkan toleransi dan kerukunan itu. Salah satunya menggalakkan program pertemuan masyarakat dari tingkat paling bawah sampai atas yang tujuannya membangun kembali jiwa kebersamaan dan kerukunan. Juga semangat gotong royong dalam masyarakat harus terus dibudayakan demi untuk menguatkan rasa persaudaraan.
“Jangan ada pengkotakan atau pengucilan. Semua lapisan masyarakat harus dirangkul dan dibangkitkan semangat kebersamaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tutur Lily Wahid.
Kendati demikian, ia juga mengimbau agar jangan ada pengistimewaan kepada kelompok masyarakat tertentu. Pasalnya, sering kali kelompok masyarakat yang diistimewakan itu nantinya malah ngelunjak.
Menjelang pergantian tahun yang tinggal tiga hari ini, Lily tidak melihat ada hal-hal negatif yang perlu dikhawatirkan. Ia yakin dan percaya dengan aparat kepolisian yang sudah melakukan upaya kewaspadaan tinggi bisa mengantisipasi dan menangani.
“Pasti Polri tidak ingin kebobolan lagi. Saya lihat apa yang dilakukan aparat untuk melakukan antisipasi kemungkinan terjadi gangguan, sudah sangat baik dan itu harus terus dilakukan dan ditingkatkan,” jelas Lily Wahid.