Laporan wartawan Tribunnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur PT Rata Dea Advertising, Apriyadi Malik alias Yaya mengingatkan Yanuar agar berhati-hati ketika diperiksa penyidik Komisi Pembernantasan Korupsi (KPK).
Peringatan tersebut diberikan mengingat sahabatnya Ali Sadli yang menjabat kepala Sub Auditorat III Auditorat Keuangan Negara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI ditangkap KPK.
Baca: Mabes Polri Kejar Warga Negara Rusia Pembeli Video Porno Anak dengan Perempuan Dewasa
Kepada Yanuar, kakak ipar Ali Sadli, Yaya berpesan agar tidak membawa telepon seluler ke dalam gedung KPK.
Dia menyarankan agar handphone tersebut ditinggal saja di mobil agar tidak disadap lembaga antirasuah itu.
"Loker KPK itu ada kunci serep. Itu bisa disadap, diambil semua datanya. Jadi baiknya ditaruh di mobil," demikian percakapan Yaya dengan Yanuar dalam rekaman percakapan sadapan yang di perdengarkan di Pengadilan Negeri Tindak Korupsi, Jakarta, Rabu (10/1/2017).
Baca: Penyesalan Kasdi Injak Istri Hamil Tua Hingga Bayinya Meninggal Dunia
"Saya cuma denger kata orang aja, Pak," jawab Yaya yang sebelumnya mengaku tidak ingat percakapan tersebut.
Jaksa Penutut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi Takdir Suhan kemudian bertanya lagi sebab mereka takut disadap KPK.
Yaya kemudian mengaku tidak tahu karena informasi itu dia dengarkan dari orang.
Baca: KPK Masih Telisik Kemungkinan Hilman Terlibat Kasus Menghalangi Penyidikan Terhadap Setya Novanto
"Ya kan kata orang aja Pak. Saya enggak tahu," jawab dia lagi.
Walau diingatkan agar serius oleh jaksa, Yaya tetap tidak memberikan jawaban atas sarannya tidak membawa handphone ke dalam gedung KPK.
Yaya hari ini diperiksa sebagai saksi untuk terdakwa Rochmadi Saptogiri yang dijerat pasal pencucian uang.
Baca: Golkar Pastikan Pembahasan Nama Ketua DPR Pengganti Setya Novanto Rampung Bulan Ini
Sekadar informasi, Rochmadi Saptogiri didakwa bersama-sama Ali Sadli menerima hadiah atau janji yakni berupa uang dari Sugito selaku Inspektur Jenderal Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sebesar Rp 240 juta.
Uang tersebut agar menentukan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Kemendes PDTT Tahun anggaran 2016.
Rochmadi dan Ali Sadli juga menjadi terdakwa gratifikasi dan pidana pencucian uang.