TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pelaksana tugas Ketua DPR RI Fadli Zon menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi Pasal 222 UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum, kian melicinkan jalan bagi mundurnya demokrasi.
Dalam putusan terhadap enam berkas perkara yang seluruhnya berisi gugatan terhadap Pasal 222 UU Pemilu tersebut, MK menyatakan menolak uji materi soal ambang batas pemilihan presiden demi memperkuat sistem pemerintahan presidensial dan penyederhanaan partai politik.
Pasal 222 UU Pemilu mengatur bahwa partai politik atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu 2014 untuk mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu Serentak 2019.
"Sejak disahkan, beleid ini telah memicu kontroversi karena dianggap memaksakan kehendak partai-partai pendukung pemerintah," kata Fadli lewat pesan singkat yang diterima, Jumat (12/1/2018).
Dirinya mengaku tidak bisa memahami nalar putusan MK.
Baca: Pengamat Nilai Terlalu Dini Bilang Hanya Jokowi dan Prabowo Capres 2019
Di satu sisi MK mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 173 Ayat (1) dan (3) UU Pemilu, bahwa partai lama peserta Pemilu 2014 juga harus tetap menjalani verifikasi faktual, dengan argumen kesetaran dan untuk menghindari diskriminasi terhadap partai baru.
"Namun, di sisi lain, MK justru menolak seluruh permohonan uji materi terhadap Pasal 222, padahal jelas-jelas pasal tersebut akan mendiskriminasi partai baru dalam proses pencalonan kandidat presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019 nanti. Bagaimana MK menjelaskan kontradiksi argumen semacam itu?" Kata Fadli.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini mengatakan, sebagai penjaga konstitusi, MK seharusnya bisa menerjemahkan spirit konstitusi secara koheren, konsisten, dan komprehensif.
Namun Fadli menilai, dalam kasus uji materi terhadap UU Pemilu kemarin, dirinya tidak melihat koherensi tersebut.
Dalam pertimbangannya, misalnya, MK menilai ‘presidential threshold (PT) relevan untuk memperkuat sistem presidensial. Padahal jelas-jelas aturan tentang ‘presidential threshold’ itu sangat bias sistem parlementer.
"Di mana relevansinya? Itu kan kontradiktif. MK menjadi seolah ahli politik. Saya kira hal ini hanya menghasilkan ‘setback’ dalam praktik berdemokrasi kita. Sebab, jika kita tengok lagi ke belakang, alasan kita melakukan amandemen UUD 1945 salah satunya adalah untuk memurnikan sistem presidensial," katanya.
Untuk itu UUD hasil amandemen mendesain agar pemilu legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) dihelat secara serentak.
"Dalam tiga pemilu lalu, desain untuk memperkuat sistem presidensial ini telah dicederai oleh undang-undang Pemilu lama yang selalu menempatkan perhelatan Pilpres digelar sesudah hajatan Pileg. Akibatnya, Pilpres jadi seperti politik dagang sapi," kata Fadli.