Faktanya lagi, tawar menawar politik itu lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang. Akibatnya, Presiden sangat tergantung pada partai-partai politik pendukung yang tentu saja mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dan efektif.
Hal lain yang mengusik logika adalah jika ambang batas yang digunakan adalah dari hasil pemilu 2014 dimana kita semua sudah ketahui nilai perolehannya masing-masing, maka konsep agar Pilpres dilaksanakan serentak dengan Pileg di Agustus 2019 sesuai amar keputusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa pada Pemilu 2019 pemilihan legislatif (DPR, DPRD & DPD) dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan serentak, makin kehilangan konteksnya.
Bukankah esensi pemilu serentak itu agar presiden terpilih bukan dikarenakan hasil perolehan suara partai-partai politik? Jelas sudah, misi penguatan sistem Presidensial justru menjadi pupus dengan adanya putusan penolakan MK ini! Niat MK terdahulu untuk memperkuat sistem presidensial serta upaya penyelamatan politik nasional agar terbebas dari era “penyanderaan” Presiden oleh partai-partai politik besar digagalkan oleh para petinggi MK yang sekarang.
Perlu diketahui dari 9 hakim MK, hanya dua diantaranya, yaitu Saldi Isra dan Suhartoyo yang menyampaikan perbedaan pendapat atau dissenting opinion. Suhartoyo menilai, mempergunakan hasil pemilu legislatif sebagai syarat mengisi posisi eksekutif merusak logika sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem presidensial, melalui pemilu langsung, mandat rakyat diberikan secara terpisah kepada legislatif dan eksekutif (Presiden).
“Mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan legislatif belum tentu sama, bahkan sejumlah fakta empirik membuktikan acapkali berbeda dengan mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan eksekutif”, ujarnya.
Saldi Isra menambahkan, pemberian kursi sekurangnya 20 persen dari jumlah kursi DPR tidak menjamin terjadinya stabilitas pemerintahan. Apalagi, tidak ada jaminan hasil di Pemilu 2019 akan sama dengan Pemilu 2014.
Cukuplah dengan bukti betapa lemahnya argumentasi Mendagri serta tidak konsistennya MK dengan hasil temuannya sendiri, yaitu bahwa adanya PT berapapun besarnya hanya akan “menyandera” Presiden pasca terpilih. Sekarang, mari kita pahami apa dampak PT 20 persen bagi rakyat Indonesia?
Pertama, dengan pembatasan sebesar 20 persen dan mengingat bahwa yang bisa mencalonkan Presiden hanyalah partai-partai besar saja, maka rezim pemilu 5 tahunan hanya akan menyisakan calon pemimpin yang “itu-itu saja”.
Dengan demikian maka sudah barang tentu kesempatan bagi tampilnya lebih banyak alternatif Capres yang baik dan berkualitas pada pemilu tahun 2019 serta pada pemilu-pemilu selanjutnya menjadi sesuatu yang muskil.
Siapa yang dirugikan dengan situasi seperti ini? Rakyat tentunya!. Semua tahu bahwa banyaknya pasangan Capres akan mendorong adanya kontestasi ide serta gagasan-gagasan alternatif yang bisa memicu tingkat kekritisan rakyat dalam menilai dan memilih pemimpin yang lebih berkualitas dibandingkan dengan pilihan yang “itu-itu saja” tadi.
Padahal, sesuai niat awalnya, penghapusan PT diyakini akan meningkatkan partisipasi warga negara sebagai pemilih, karena Capres/Cawapres menjadi lebih banyak pilihan. Pembatasan calon berarti membatasi opsi pemilih, yang padahal berpotensi menaikkan voters turn out (golput) yang biasanya disebabkan terbatasnya pilihan yang ada dan kurang sesuai dengan keinginan pemilih.
Kedua, harap diingat bahwa normalnya rezim pemilu di Indonesia berlangsung 5 tahunan dan dengan digunakannya hasil pemilu 2014 (yang telah menghasilkan Presiden Jokowi dan JK) untuk pemilu 2019, maka koreksi rakyat atas pilihannya kepada partai baru dapat secara efektif digunakan di pemilu 2024!
Konsekuensi dari adanya PT 20 persen ini, semisal harapan rakyat ingin menjadikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi Presiden, hanya bisa terjadi di 2024 dan itupun jika Partai Demokrat menjadi partai yang minimal meraih suara minimal 20 persen pada pemilu 2019 nanti.
Jika perolehan suara Partai Demokrat di 2019 kecil, maka angan-angan untuk menjadikan AHY sebagai pemimpin Indonesia di 2024 harus rela dilupakan. Nasib yang sama akan dialami oleh alternatif-alternatif pemimpin baru lainnya.