TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin menilai kelonggaran yang diberikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Airlangga Hartarto untuk merangkap jabatan Menteri sekaligus Ketua Umum Golkar dapat dibaca setidaknya pada tiga hal.
Pertama, dari sisi etika. Menurut Said, Presiden dapat dianggap telah melakukan tindakan yang kurang pantas.
Karena salah satu ciri pemimpin yang baik adalah mengedepankan nilai-nilai etika dengan memegang prinsip "satu kata satu perbuatan". Apa yang dia katakan, itulah yang semestinya harus dia perbuat.
"Jadi kalau dulu Presiden berkata Menteri tidak boleh merangkap jabatan, mengapa sekarang kok diperbolehkan? Ini kan yang sekarang diributkan oleh banyak orang sehingga muncul tudingan bahwa Presiden tidak konsisten," ujar Said kepada Tribunnews.com, Selasa (23/1/2018).
Baca: Kursi di Teater Besar Sold Out, Megawati: Bukti Saya Masih Dicintai
Semestinya imbuhnya, Presiden taat asas pada kebijakan yang dibuatnya sendiri.
Nah, sikap inkonsisten Presiden ini bisa disebut sebagai perilaku yang kurang pantas, sebab ada etika pemerintahan yang ditabrak disitu.
Lebih jauh lagi perbuatan tersebut bisa saja dianggap sebagai perbuatan yang merendahkan martabat Presiden sendiri.
Tindakan kurang patut yang merendahkan martabat Presiden dalam perspektif hukum tata negara dapat digolongkan sebagai perbuatan tercela atau 'misdeamenor'. Perbuatan ini dapat dijadikan sebagai salah satu alasan untuk mendakwa seorang Presiden dalam proses 'impeachment'.
Jadi mengubah suatu kebijakan tidak selalu bisa didalilkan sebagai hak prerogatif Presiden, tetapi bisa saja di dalam pelaksanaan hak tersebut terdapat tindakan tidak etis yang tergolong sebagai 'misdeamenor'.
Hal kedua yang bisa dibaca dari kebijakan Presiden terhadap rangkap jabatan Airlangga adalah dari aspek hukumnya.
Sebetulnya tidak ada satu pun undang-undang yang melarang seorang menteri merangkap jabatan sebagai pengurus partai.
Karena bagaimanapun jabatan menteri adalah jabatan politik. Sehingga oleh sebab itu bisa saja seorang pengurus parpol menduduki jabatan menteri pada saat yang bersamaan.
Nah, masalahnya kan Presiden sendiri yang diawal masa pemerintahannya membuat kebijakan melarang menterinya rangkap jabatan sebagai pengurus partai. Jadi sebetulnya disinilah titik pangkalnya.