TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus dugaan korupsi e-KTP Elektronik, Setya Novanto langsung tertawa saat ditanya pernyataan "This Is My War" dari Presiden ke-enam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), saat melaporkan Firman Wijaya ke Bareskrim Polri beberapa hari lalu.
"Hehehe, nanti dilihat saja sama-sama perkembangannya gimana," ucap Setya Novanto, Kamis (8/2/2018) di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Novanto kembali dicecar awak media mengenai tanggapannya, termasuk soal pernyataan SBY soal air susu dibalas air tuba yang dialamatkan kepada Setya Novanto, dia enggan memberikan tanggapan lebih.
Setya Novanto yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar itu hanya menegaskan, dirinya tidak pernah mengikuti pembahasan anggaran proyek e-KTP 2011-2012 di DPR.
"Saya kan ga ikut-ikut," kata Setya Novanto.
Selasa (6/2/2018) lalu, SBY secara resmi melaporkan penasihat hukum Setya Novanto, Firman Wijaya ke Bareskrim Polri atas tuduhan pencemaran nama baik.
Baca: Disebut Tolak Uang e-KTP karena Jumlahnya Kurang Besar, Ganjar Tantang Hakim
Laporan ini berawal dari pernyataan Firman Wijaya yang menilai, kesaksian Mirwan Amir dalam persidangan kliennya, Kamis (25/1/2018) di Pengadilan Tipikor memperlihatkan kekuatan besar yang disebut mengintervensi proyek e-KTP itu adalah anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR periode 2009-2014.
Apalagi, proyek e-KTP itu erat kaitannya dengan anggaran.
Karena itu, Firman menilai, keliru dengan anggapan bahwa proyek tersebut dikendalikan oleh Setya Novanto.
Firman juga menyebutkan, proyek e-KTP dikuasai oleh pemenang Pemilu 2009.
Novanto kembali irit bicara dan hanya mengumbar senyum saat dimintai tanggapannya.
Novanto bicara apa adanya saat kembali dikonfirmasi, soal penulisan nama Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas dalam buku hitamnya yang selalu dibawa saat menjalani proses hukum perkara e-KTP.
Novanto kemudian menebar senyum kepada awak media.
"Kamu kali yang ngomong," kata dia singkat.
Baca: Bahagianya Sianit Calon Bayinya Laki-laki, Berharap Bisa Meneruskan Perjuangan Guru Budi
Kembali disinggung mengenai peran Ibas dalam perkara e-KTP, Novanto kemudian menyebut nama Nazaruddin. Dia meminta awak media mengkonfirmasi kepada Nazaruddin.
"Tanya Pak Nazaruddin dong," ujar Novanto.
Sebelumnya diberitakan isi buku hitam Novanto tersorot kamera awak media.
Terdapat nama mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, dan Ibas.
Di atas dua nama itu tertulis justice collaborator.
Di bawah nama Nazaruddin, Setya menggambar dua tanda panah. Tanda panah berwarna hitam dan tertulis nama Ibas.
Ada juga tanda panah berwarna merah di bawah nama Ibas dan tercantum angka 500 ribu dolar AS.
Dalam sidang lanjutan kemarin, dalam surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terungkap, Novanto, sempat menghindar saat akan ditangkap oleh penyidik KPK November 2017 lalu.
Dari surat dakwaan itu, mengungkap Novanto bersembunyi dan dinyatakan hilang usai dari DPR.
Ternyata, Setya Novanto sempat bersembunyi di sebuah hotel di kawasan Sentul, Bogor, Jawa Barat.
Menurut jaksa, awalnya pada 15 November 2017, Novanto tidak datang memenuhi panggilan penyidik KPK untuk diperiksa sebagai tersangka.
Baca: Seribu Akal Fredrich Selamatkan Setya Novanto, Surat Rawat Inap pun Dibuat Sebelum Kecelakaan
Kemudian, sekitar pukul 22.00, penyidik melakukan upaya penangkapan dan penggeledahan di rumah yang beralamat di JaIan Wijaya XIII, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Namun, penyidik tidak menemui Setya Novanto.
Saat itu, penyidik bertemu dengan Fredrich Yunadi dan Fredrich mengaku tidak tahu dimana keberadaan Setya Novanto.
"Penyidik KPK menanyakan keberadaan Setya Novanto kepada terdakwa. Namun, terdakwa mengatakan tidak mengetahuinya," kata jaksa saat membacakan surat dakwaan.
Padahal, menurut jaksa, sebelumnya Fredrich telah menemui Setya Novanto di gedung DPR.
Tapi saat Penyidik KPK datang ke DPR, Novanto terIebih dahulu pergi meninggalkan rumahnya bersama dengan Azis Samual dan Reza Pahlevi yang merupakan ajudan Setya Novanto.
Masih menurut jaksa, Novanto dan dua orang tersebut menuju Bogor dan menginap di Hotel Sentul.
Novanto berada di sana sambil memantau perkembangan situasi kasusnya melalui televisi.
Keesokan harinya, menurut jaksa, Novanto kembali lagi ke Jakarta menuju gedung DPR.
Di tempat lain, Ketua majelis hakim Saifuddin Zuhri sampai mengetuk palu untuk menghentikan ucapan terdakwa Fredrich Yunadi dalam persidangan.
Awalnya, usai jaksa KPK membaca surat dakwaan, ketua majelis hakim menanyakan, apakah Fredrich akan mengajukan eksepsi.
Namun, Fredrich malah menjawab panjang lebar dengan menyatakan bahwa surat dakwaan jaksa penuh rekayasa.
Dengan nada tinggi, Fredrich memaksa agar saat itu juga dia diberikan kesempatan menyampaikan nota keberatan atau eksepsi.
Fredrich tidak peduli apabila pengacaranya tidak dapat mengajukan eksepsi pada saat yang sama.
"Pendapat hukum memang setiap orang beda-beda, sama kayak Bapak, majelis hakim pasti beda-beda. Karena pada dasarnya saya ini advokat, saya mohon izin untuk sampaikan eksepsi," kata Fredrich.
Atas permintaan kuasa hukum, hakim kemudian memberi kesempatan Fredrich dan pengacara berdiskusi.
"Setelah kami berunding meskipun saya sangat ingin telanjangi penipuan yang dilakukan jaksa, tetapi karena ada arahan," ujar Fredrich.
Kata-kata Fredrich itu terpotong karena ketua majelis hakim meminta Fredrich berhenti bicara.
Bahkan, untuk menghentikan ucapan Fredrich, hakim terpaksa mengetuk palu.
"Terdakwa dengarkan saya. Jangan ngomong sana-sini dulu. Jawab pertanyaan kami dulu," kata hakim Saifuddin.
Dalam kasus ini, Fredrich Yunadi didakwa menghalangi proses hukum yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap tersangka mantan Ketua DPR Setya Novanto.
Fredrich sebelumnya merupakan pengacara yang mendampingi Setya Novanto.
Menurut jaksa, Fredrich melakukan rekayasa agar Setya Novanto dirawat inap di Rumah Saklt Medika Permata Hijau.
Fredrich diduga sudah memesan kamar pasien terlebih dahulu sebelum Novanto mengalami kecelakaan.
Fredrich juga meminta dokter RS Permata Hijau untuk merekayasa data medis Setya Novanto.
Upaya itu dilakukan dalam rangka menghindari pemeriksaan oleh penyidik KPK.
Saat itu, Setya Novanto telah berstatus sebagai tersangka perkara tindak pidana korupsi pengadaan e-KTP. (tribun/theresia felisiani/kcm)