Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik dari Lingkaran Madani, Ray Rangkuti menangapi terkait pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3) terutama pada Pasal 122 huruf K.
Diketahui, Pasal 122 huruf K itu, menyebutkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bertugas mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Dengan begitu, jika ada pihak atau lembaga yang merendahkan kehormatan anggota DPR bisa ditindak oleh MKD dengan mengambil langkah hukum.
Baca: PDIP: Hal yang Menyentuh Martabat Partai, Kita Selesaikan Lewat Jalan Hukum
Nantinya, kata Ray, hal ini menjadikan MKD sebagai perlindungan anggota DPR dari kritikan publik.
"MKD tidak lagi untuk menjaga etika dewannya tapi menjaga anggota DPR-nya jangan dihina oleh publik. Bukan karena reaksi DPR-nya atau karena apa pun, ini yang buat kita terhenyak juga," kata Ray Rangkut dalam sebuah diskusi 'Penyikapan RKUHP dan Revisi UU MD3: Selamat Datang Politik Anti Kritik dan Anti Demokrasi' di D'Hotel, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (13/2/2018).
Selain itu, Ray menganggap aneh keterlibatan MKD yang dapat memproses hukum seseorang yang diduga menghina anggota DPR.
Menurutnya, seseorang yang merasa terhina seharusnya melaporkan langsung ke kepolisian tanpa harus melalui MKD.
"Sudah sendiri saja enggak usah pakai MKD-MKD. Anda merasa terhina kok terus pakai MKD. Emang MKD itu simbol negara? Emang kalau dirinya dihina negara yang harus menyelesaikan?" terang Ray.
Ray pun menduga, munculnya pasal 122 ini dibentuk dengan berkaca kepada pasal penghinaan kepada Presiden.
Padahal, lanjut Ray, sebelumnya Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Baca: Polri Meyakini Menjelang Pilkada Serentak Penyebaran Hoax dan Ujaran Kebencian Meningkat
"Kalau DPR menghidupkan ini, semangatnya kan sama kaya Pasal Haatzaai Artikelen, simbol negara tidak boleh dihina. Tapi DPR kan bukan simbol negara," jelas Ray.
Dikabarkan sebelumnya, Secara resmi, DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPD, DPR dan DPRD melalui rapat paripurna DPR, di Gedung Nusantara II DPR, Jakarta, pada Senin (12/2/2018).
Usai Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas membacakan laporan, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Fadli Zon selaku pimpinan sidang minta pendapat seluruh Fraksi apakah RUU MD3 bisa disahkan.
"Apakah revisi Undang-undang MD3 dapat disetujui?" tanya Fadli Zon dan dijawab "setuju" oleh semua anggota DPR yang ada di ruang sidang.
Fadli kemudian mengetuk palu sidang bertanda revisi Undang-Undang MD3 telah disepakati.