TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polisi menyebut hoaks penyerangan ulama bermotif politik dan dilakukan kelompok Muslim Cyber Army (MCA) bersama eks kelompok Saracen.
Motif ini diketahui setelah polisi mendalami kasus hoaks penyerangan ulama melalui media sosial.
Dari hasil penyelidikan polisi motif yang dilakukan kelompok MCA adalah agar bisa menjegal pemerintahan yang sah melalui sosial media.
Apalagi penyebaran hoaks ini dilakukan memasuki tahun politik menjelang Pilkada Serentak dan pemilihan presiden.
Dengan memanfaatkan keresahan masyarakat dan ulama mereka hendak memicu konflik sosial yang lebih besar.
"Apa yang dilakukan oleh kelompok ini (MCA dan Eks Saracen) motifnya adalah motif politik," kata Kasatgas Nusantara Irjen Pol Gatot Eddy Pramono.
Staf Ahli Kapolri Bidang Sosial Ekonomi itu menemukan motif itu melalui pendalaman di lapangan dan melalui media sosial.
"(Isu hoaks) Menimbulkan keresahan masyarakat, ulama, dan timbul ketakutan serta timbul konflik sosial yang besar," kata Gatot.
"Bahwa kemudian masyarakat akan berpikir jika pemerintah tidak bisa mengelola negara dan konflik yang lebih besar akan terjadi. (Ini berpotensi) memecah belah bangsa," tambah Gatot.
Lebih lanjut, ia menyebut selama kurun bulan Februari, timnya menemukan 45 peristiwa terkait isu penyerangan terhadap ulama.
Namun, hanya 3 peristiwa yang benar-benar terjadi, dan 42 sisanya hanyalah isu hoaks semata.
Baca: Mahfud MD Bukan Tak Mau Jadi Cawapres Tapi Tak Ingin
"(Peristiwa) Yang betul-betul terjadi hanya 3. Ada 2 di Jabar dan 1 di Jatim. Di Jabar yaitu penyerangan Kiai Haji Umar di Cicalengka, kemudian korban meninggal di Cigondewa yaitu Ustaz Prawoto, serta kejadian di Lamongan, Jatim," ujar Gatot.
Koneksi MCA dan Saracen
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Pol Fadil Imran mengatakan Polri telah berhasil menemukan koneksi atau garis merah antara kelompok Muslim Cyber Army (MCA) dan Saracen.
Fadil mengungkap jika para pelaku penyebar hoaks terkait penyerangan ulama yang ditangkap di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur terhubung satu sama lain.
"Dari upaya penindakan, kami lakukan analisis sampai penyerangan ulama. Dari klaster Jatim, Jabar, Banten, terlihat bahwa pelakunya ini terhubung satu sama lain. Pelaku-pelaku yang tergabung dalam MCA juga tergabung dengan klaster X, yaitu eks kelompok Saracen," ujar Fadil.
Wakasatgas Nusantara ini juga menjelaskan isu penganiayaan atau penyerangan terhadap ulama dihembuskan kurang lebih sebulan lamanya.
"Bahwa ada 3 kejadian (yang benar-benar terjadi), namun menunjukkan grafik peningkatan di medsos. Mulai 2 Februari, isu penganiayaan terhadap ulama itu terus digulirkan, diviralkan sampai dengan 27 Februari. Setelah itu, kemudian grafiknya menurun," ujarnya.
"Ini menunjukkan bahwa pembentukan opini isu penyerangan ulama dilakukan oleh kelompok tertentu di dunia maya, internet, medsos," kata Fadil.
Baca: Pengacara Abu Bakar Baasyir Tuding Australia Terlalu Jauh Intervensi soal Nasib Kliennya
Terkait siapa dalang dibalik semua kasus ini, Fadil mengatakan pihaknya masih terus mendalami dan bekerja mencari jawabannya.
"Siapa dibalik ini semua? Kami akan terus bekerja (mencari dalangnya). Agar hoax atau fitnah yang mengganggu keamanan bisa segera dihilangkan," ujar Fadil.
Kasubsit I Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Kombes Pol Irwan Anwar mengatakan telah menangkap 14 orang yang tergabung dalam grup WhatsApp 'The Family MCA' sepanjang tahun 2018.
Irwan menjelaskan sekitar 8 orang ditangkap oleh polisi pada awal 2018.
Sementara 6 lainnya baru ditangkap pada Senin (26/2/2018) silam.
Enam anggota grup WhatsApp 'The Family MCA', yang ditangkap pada Senin kemarin, terciduk di sejumlah kota berbeda.
Menurut Irwan, mereka ditangkap oleh polisi di Jakarta, Sumedang, Pangkalpinang, Bali, Palu dan Yogyakarta.
Dari enam orang itu, lima orang yang sudah diumumkan identitasnya oleh polisi adalah Muhammad Luth, Rizky Surya Dharma, Yuspiadin, Romi Chelsea, dan Ramdani Saputra.
Irwan menambahkan penyidik kepolisian juga berencana mengejar satu pelaku lainnya yang diduga berada di Korea Selatan.
Sayangnya, Irwan belum menjelaskan motif 14 anggota grup WhatsApp 'The Family MCA' tersebut dalam aktivitas penyebaran ujaran kebencian.
Menurut dia, penyidik kepolisian masih mendalami motif mereka.
Baca: Buwas Yakin Heru Winarko Mampu Berantas Narkoba Meski Terkesan Agak Santai
Polisi juga belum menjelaskan kemungkinan aktivitas mereka dilandasi motif ekonomi sebagaimana sindikat Saracen.
"Nanti kami dalami dulu, tersangka baru sampai. Yang dari Palu dan Yogyakarta baru sampai," kata Irwan.
Berdasar penyelidikan polisi di sejumlah telepon pintar milik 14 orang tersebut, ada 9 grup WhatsApp lain yang memakai nama MCA atau menyerupainya.
Menurut Irwan, grup-grup WhatsApp ini memang memiliki jumlah anggota lumayan banyak.
Sembilan grup selain yang bernama The Family MCA adalah Akademi Tempur MCA, Pojok MCA, The United MCA, The Legend MCA, Muslim Coming, MCA News Legend, Special Force MCA, Srikandi Muslim Cyber dan Muslim Sniper.
Menanggapi kasus ini, Staf khusus Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Henri Subiakto menyatakan polisi memang bisa saja menangkap penyebar ujaran kebencian dan hoaks via aplikasi pengiriman pesan WhatsApp.
Sebab, penyebar ujaran kebecian dan hoaks juga bisa membagikan pesan ke banyak orang melalui sarana WhatsApp.
"Bagaimana Anda bisa menjamin informasi itu tertutup? Kalau memang isinya satu atau dua, apa bisa dijamin tidak menyebar? Kalau bertambah anggota sampai 20 saja itu juga sudah menyebar ke publik," kata Henri.
Diajari Buat Akun Palsu
Polisi menangkap Bobby Gustiono (35) di Sumatera Utara. Ia diketahui sebagai anggota kelompok inti The Family Muslim Cyber Army.
Ia juga menjadi admin dan pengurus dari tiga grup milik MCA di Facebook.
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Pol Fadil Imran mengatakan, Bobby memiliki keahlian di bidang teknologi informasi, sehingga bisa membuat akun palsu di Facebook untuk memviralkan konten-konten hoaks, ujaran kebencian, dan diskriminasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
"Bobby juga membuat tutorial kepada anggota grupnya cara membuat akun FB palsu yang seolah-olah asli," ujar Fadil.
Menurut Fadil, Bobby mengajari cara membuat akun palsu secara meyakinkan, sehingga tidak terkena suspend.
Selain itu, Bobby juga me-report akun-akun yang dianggap lawan MCA agar dinonaktifkan oleh Facebook.
"Mampu menonaktifkan lebih dari 300 akun FB setiap bulannya," kata Fadil.
Bobby menyebarkan konten ujaran kebencian, hoaks, dan diskriminasi SARA melalui dua akun Facebook, Bobby Siregar dan Bobby Gustiono.
Konten tersebut disebarkan ke berbagai grup Facebook yang dia ikuti.
Diketahui, Bobby mengikuti lebih dari 50 group di Facebook.
Dari tangan pelaku, tim menyita barang bukti dua buah ponsel beserta SIM card.
Dari perangkat yang disita, petugas menemukan sejumlah konten ujaran kebencian dalam berbagai bentuk untuk disebarkan di media sosial.
"Sampai saat ini penyidik masih terus mendalami motif tersangka melakukan kejahatan tersebut," kata Fadil.
Atas perbuatannya, pelaku terancam Pasal 45A Ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 16 Jo Pasal 4 huruf b angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan/atau Pasal 207 KUHP Penghinaan terhadap Penguasa atau Badan Umum. (Tribun Network/dit/kps/wly)