TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak menandatangani Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) mendapat kritik keras dari Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak.
Apalagi menurut Pendiri Madrasah Antikorupsi itu, kemudian Presiden menyerahkan kepada masyarakat untuk melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang mulai berlaku Kamis (15/3/2018) kemarin.
"Bagi saya adalah laku drama politik yang jelek banget," ujar Dahnil Simanjuntak kepada Tribunnews.com, Jumat (16/3/2018).
Presiden Jokowi menurut dia, seolah menganggap publik tidak paham bahwa sejak awal proses penyusunan UU MD3 tersebut melibatkan pemerintah secara intensif.
Baca: CW Rawat Lima Anak Adopsi di Hotel Karena Rumah di Benhil Kerap Kebanjiran
"Jadi adalah pembodohan publik seolah menyatakan beliau tidak bersetuju dan tidak tahu menahu terkait dengan UU tersebut, ditambah lagi himbauan agar publik melakukan gugatan Ke MK," tegas Dahnil.
Tanpa diminta pun, tegas dia, publik pasti melakukan gugatan ke MK.
Namun dia menilai, sikap Presiden Jokowi sama sekali tidak mencerminkan sikap negarawan yang berani bertanggungjawab dan mencari solusi.
Padahal bisa saja, lebih lanjut Presiden Jokowi tidak bersepakat kemudian karena ada ancaman serius terhadap Demokrasi terkait pasal-pasal di UU MD3, bersikap mengeluarkan Perppu.
"Nah itu agaknya sikap terang dan tegas menyelamatkan demokrasi, tapi ternyata itu tidak menjadi pilihan Pak Jokowi," ucapnya.
"Beliau justru memilih bermain drama yang bagi saya jelek banget dan cenderung menghina nalar publik, bersikap politicking seolah publik tidak paham Proses penyusunan Undang-Undang," cetusnya.
RUU tentang Perubahan UU MD3, Kamis (15/3/2018) telah sah diundangkan dengan nama UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Meskipun sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak meneken revisi UU MD3, itu tidak berimplikasi secara kekuatan hukum. (*)