TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), membantah bahwa pihaknya sengaja menjegal langkah Ahmad Hidayat Mus dalam Pilkada Gubernur Maluku Utara.
Ahmad ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengadaan lahan Bandara Bobong, Kabupaten Sula tahun 2009, dalam kapasitasnya sebagai Bupati Kepulauan Sula periode 2005-2010.
Padahal Ahmad merupakan calon gubernur Maluku Utara yang mengikuti kontestasi Pilkada Serentak 2018. Dia berpasangan dengan Rivai Umar dan diusung Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarief, menyebutkan bahwa yang dilakukan KPK dalam rangka penegakan hukum.
"Ini sudah kasus lama, bukan kita menargetkan orang tertentu untuk menghalang-menghalangi, misalnya kesempatan beliau untuk menjadi gubernur, tidak," ujar Laode di Gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (17/3/2018).
Laode juga menegaskan bahwa pihaknya tidak berniat untuk menggagalkan penyelenggaraan Pilkada 2018.
"Jadi kita umumkan (tersangka) itu tidak ada maksud sama sekali untuk menggagalkan pesta demokrasi. Jadi kita sama iramanya dengan pemerintah. Masa kita harus menunggu tiga bulan lagi sampai sudah jadi (Gubernur)," tambah Laode.
Seperti diketahui, selain Ahmad, KPK juga menetapkan mantan Ketua DPRD Kabupaten Sula, Zainal Mustafa (ZM). ZM selaku Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Sula periode 2009-2014.
Perbuatan Ahmad diduga menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 3,4 miliar.
Saut menyebut diduga proyek pembebasan lahan Bandara Bobong itu fiktif. Akibatnya, negara diduga mengalami kerugian keuangan negara akibat perbuatan keduanya.
Atas perbuatannya, Ahmad dan Zainal diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.