TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Melarang mantan narapidana korupsi menjadi Calon Legislatif (Caleg) adalah hal yang baik dan perlu.
Apalagi menurut Pengamat politik Dari Universitas Paramadina, Djayadi Hanan, korupsi sudah menjadi masalah kronis dan penindakan selama ini, termasuk melalui OTT KPK tampak belum menunjukkan efek jera.
Untuk itu Direktur Eksekutif Saiful Mudjani Research and Consulting (SMRC) ini menilai, hukuman untuk koruptor harus berlapis, tidak hanya dari aspek kriminal tapi juga aspek sosial dan politik.
"Aturan KPU tersebut bisa masuk hukuman secara politik," ujar Djayadi Hanan kepada Tribunnews.com, Selasa (3/4/2018).
Masyarakat juga dia yakin, akan mendukung karena korupsi termasuk dalam lima masalah mendesak yang hrs segera diselesaikan menurut publik.
Dia tegaskan, periode 2019 dan setelahnya harus menjadi periode yang fokus pada pembersihan korupsi.
Hal ini tidak lain, supaya di periode 2024 Indonesia mulai bisa bergerak maju lebih cepat.
"Para pejabat publik harus orang-orang yang sedapat mungkin bersih dari track record korupsi," jelasnya.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendukung sepenuhnya rencana KPU menerbitkan aturan yang melarang mantan narapidana kasus korupsi menjadi Caleg.
Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah, menilai norma tersebut penting untuk mencegah seorang terpidana korupsi menduduki jabatan politik.
"Secara substansi, kami memandang norma tersebut penting," ujar Febri saat dikonfirmasi, Senin (2/4/2018).
Menurutnya, tidak pantas bagi seorang yang telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi langsung mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau calon legislatif.
KPK kerap menuntut seorang terdakwa perkara korupsi yang menduduki jabatan politik untuk dicabut hak politiknya.
"Karena itulah, untuk terdakwa kasus korupsi yang menduduki jabatan politik, KPK juga menuntut pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan," kata Febri.(*)