TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang uji materi tentang Revisi UU MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) kembali digelar pada Rabu (11/4/2018) di Mahkamah Konstitusi dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) merupakan salah satu pihak yang mengajukan uji materi tersebut
Penjelasan pihak Pemerintah yang diwakili Direktur Litigasi Kemenkumham, Ninik Hariwanti, hanya bersifat normatif dan tidak menyentuh pokok permasalahan.
Jawaban dari pihak DPR yang diwakili oleh Arteria Dahlan, tidak komprehensif dan tidak menjawab pokok permasalahan.
“Terdapat banyak inkonsistensi dan kesalahan konsep secara fundamental,” kata juru bicara PSI bidang Hukum, Dini Purwono, di Jakarta, Kamis (12/4/2018).
Baca: Pasal di UU MD3 yang Dinilai Bisa Membawa Indonesia Kembali ke Jaman Orba
Pihak DPR terlihat tidak bisa membedakan antara kerugian aktual dan kerugian konstitusional.
Padahal yang menjadi fokus pemeriksaan MK adalah apakah suatu peraturan perundang-undangan menghilangkan atau mengurangi hak-hak warga negara yang diberikan oleh UUD45.
Ada tiga pasal yang digugat PSI adalah Pasal 73 Ayat 3 dan 4 a dan c, kemudian Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245. Pasal 73 mewajibkan polisi membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR.
Selanjutnya, Pasal 122 huruf k mengatur Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Sementara, Pasal 245 mengatur bahwa pemeriksaan anggota DPR oleh aparat penegak hukum harus dipertimbangkan MKD terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin.
Terkait Pasal 73, DPR terlihat blunder pada saat mengatakan bahwa kewenangan DPR lebih besar dibandingkan KPK dan Polri. Ini pemikiran yang “off-side” dalam konsep Trias Politica.
Dini menjelaskan, pasal mengenai kewenangan upaya paksa ini menjadi inkonstitusional karena tidak dikaitkan secara khusus dengan hak angket DPR. Berdasarkan konstitusi ,kewenangan DPR untuk melakukan penyelidikan adalah dalam kaitannya dengan hak angket dan hal ini sudah diatur dengan benar dalam UU MD3 yang lama. Posisi ini juga sudah diperkuat oleh Putusan MK No 14/PUU-I/2003.
Terkait Pasal 122 huruf k, DPR juga terlihat blunder dalam mengerti hakikat MKD. Menurut DPR, tugas MKD adalah menjaga harkat dan martabat anggota DPR. DPR menganggap pasal-pasal KUHP mengenai pencemaran nama baik dan fitnah tidak jelas kanalnya sehingga perlu perlindungan tambahan.
Menurut Dini, “Ini jelas salah kaprah karena fungsi MKD sebagai lembaga etik adalah menjaga harkat dan martabat anggota DPR dengan melakukan evaluasi dan supervisi atas perilaku dan tindakan-tindakan anggota DPR. Bukan malahan menjadi “kuasa hukum/polisi DPR” untuk mengambil langkah hukum terhadap pihak lain/masyarakat.”
Terkait Pasal 245, DPR menjelaskan bahwa hak imunitas diperlukan untuk melindungi anggota DPR dari upaya-upaya kriminalisasi dalam rangka pelaksanaan tugas. Namun, menurut Dini, DPR tidak teliti.
“Pasal 245 jelas menyatakan bahwa pemanggilan anggota DPR terkait tindak pidana yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan MKD. Hal ini yang menjadi masalah dan sudah ada Putusan MK No 76/PUU-XII/2014 yang menegaskan bahwa MKD tidak seharusnya dilibatkan dan bersentuhan langsung dengan sistem peradilan pidana,” ujar Dini yang juga bacaleg PSI ini.
“Mendengar argumen lemah DPR, PSI yakin permohonan uji materi UU MD3 akan dikabulkan majelis hakim MK,” pungkas Dini.
Sidang akan dilanjutkan Kamis 19 April 2018 dengan menghadirkan dan mendengarkan Ahli. PSI berencana menghadirkan staf pengajar Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar.