TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bos Facebook (FB) Mark Zuckerberg disidang (dihakimi) oleh para Senator Amerika Serikat.
"Satu dunia tahu, sidang ini untuk menggali kasus pencurian data di Facebook yang ramai dikenal dengan sebutan Cambridge Analytica," kata Rizal Calvary M, Jubir PSI bidang Ekonomi dan Bisnis, di Jakarta, Kamis (12/4/2018).
Sepintas, menurut Rizal, sidang itu biasa-biasa saja.
Seperti sidang-sidang atau hearing mega skandal keuangan korporasi Amerika Serikat yang lalu-lalu.
"Namun bila dicermati lagi, para Senator AS kerap melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang konyol," kata Rizal.
Dia mencontohkan Senator Orrin Hatch yang bertanya model bisnis Facebook ini apa sih, kok bisa digratisin? Terus, FB untung darimana?
Dengan sedikit senyum kecut Mark Zuckerberg menjawab singkat saja: “Senator, kami hidup dari iklan”.
Baca: 3 Hal yang Harus Kamu Ketahui tentang Pencurian Data Akun Facebook
Ada lagi yang lebih konyol. Dia Senator Brian Schatz.
"Dia bahkan tak paham sama sekali cara kerja Facebook," ujar Rizal.
Schatz menanyakan apakah Facebook bisa melihat seluruh “e-mail” yang dikirim via Whatsapp?
Senator Patrick Leahy lebih konyol lagi.
"Beliau menanyakan apakah Mark Zuckerberg membaca satu persatu setiap posting-an yang ada di grup Facebook tersebut?" kata Rizal.
Senator Schatz menyergah lagi, apakah Facebook akan menayangkan sebuah iklan tentang film Black Panther jika Black Panther dikirim via Whatsapp.
"Kita memang harus pahami. Anggota senator Amerika ini rata-rata sudah lansia," kata Rizal.
Usia rata-rata mereka 57-61 bahkan ada sampai 70 tahunan.
"Ini adalah usia rata-rata tertua dalam sejarah pemerintahan dan legislasi di Amerika," kata Rizal.
Sehingga, menurut Rizal, kita bisa maklumi kemudian, bila para senator bertanya akan apa yang bukan “dunia” mereka lagi.
"Sidang ini seperti kakek menginvestigasi cucu-nya," ujar Rizal.
Rizal yakin bakal lebih “menggigit” dan bikin Bos FB berkeringat dingin kalau yang duduk dan bertanya sebagai senator itu adalah legislator dari PSI yang masih belia sekelas Daniel Tumiwa, dan kawan-kawan.
"Berkaca dari kasus sidang FB ini, saatnya negara kita mendistrusi sumber daya manusia di legislasi kita," papar Rizal.
Lalu bagaimana dengan kinerja anggota DPR di Indonesia?
"Kembali ke tanah air, soal kinerja di negeri Paman Sam, sebelas-dua belas (11-12)," kata Rizal.
Menurut dia, kinerja legislasi DPR kita terbilang amat rendah. Dari target program legislasi nasional (prolegnas) jangka menengah periode 2014-2019 sebanyak 183 rancangan undang-undang (RUU), DPR RI hanya baru menyelesaikan 80-an RUU menjadi UU.
Tahun 2015, DPR menargetkan 40 RUU dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional), dari jumlah tersebut, DPR hanya bisa menyelesaikan 3 RUU saja yang kemudian disahkan menjadi UU.
Kemudian, pada 2016 DPR secara ambisius menetapkan 51 RUU dalam Prolegnas yang ditargetkan selesai di akhir tahun.
"Namun dalam praktiknya, DPR hanya bisa menyelesaikan 22 RUU, di antaranya 10 RUU Prolegnas dan 11 RUU kumulatif terbuka," kata Rizal.
Sementara itu di 2017, DPR menetapkan target untuk menyelesaikan 52 RUU Prolegnas pada akhir tahun. Sayangnya dalam kurun waktu satu tahun, DPR hanya bisa menyelesaikan 6 RUU saja.
Lebih disayangkan lagi, kata Rizal, disaat kinerja sedang menurun, legislator kita malah meminta sejumlah keistimewaan, yang teranyar pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).