Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon meminta masyarakat Indonesia kritis terhadap data pengangguran yang dikeluarkan pemerintah.
Menurutnya pemerintah mengklaim bahwa angka pengagguran menurun.
Padahal menurut Fadli di balik angka angka tersebut terdapat fakta yang cukup miris dimana banyak angkatan kerja yang beralih ke sektor informal.
Baca: 10 Negara Ini Bisa Dikunjungi dengan Budget Hematmu, Punya Pemandangan Eksotis & Biaya Hidup Murah!
"Di atas kertas, persentase jumlah pengangguran dilaporkan menurun, tetapi sebagian besar angkatan kerja itu tak lagi bekerja di sektor formal, melainkan telah terlempar menjadi pekerja di sektor informal," kata Fadli, Selasa, (1/5/2018).
Hal tersebut menurut Fadli telah menjelaskan mengapa jumlah anggota serikat buruh pada 2017 hanya tinggal 2,7 juta orang saja, padahal pada tahun 2007 jumlahnya mencapai 3,4 juta orang.
"Mereka sudah di-PHK dan kini hanya bisa bekerja di sektor informal, seperti menjadi asisten rumah tangga, tukang pangkas rambut, pedagang asongan, atau ojek online. Ini jelas bukan sektor yang kita harapkan menjadi penopang penciptaan lapangan kerja.” katanya.
Merujuk pada data BPS, dalam rentang tahun 2015-2016, Fadli Mengatakan perekonomian kita juga hanya bisa menciptakan 290 ribu hingga 340 ribu lapangan kerja per 1 persen pertumbuhan ekonomi.
Padahal, dalam situasi normal angka serapan lapangan kerja seharusnya berada pada level 500 ribu per 1 persen pertumbuhan ekonomi. Jadi, kemampuan penciptaan lapangan kerja ekonomi Indonesia sebenarnya di bawah standar.
“Itu sebabnya, saya menyimpulkan kehidupan perburuhan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo sejauh ini semakin suram. Dan kebijakan atas tenaga kerja asing kian memperburuk semua itu.” tuturnya,
Fadli mengaku telah membaca pernyataan pendukung pemerintah yang menyebut banjirnya tenaga kerja asing saat ini merupakan efek kebijakan pemerintah Orde Baru atau presiden di masa lalu. Menurutnya apologi tersebut sangat tak cerdas.
“Dia menyebut APEC dan lain sebagainya, padahal sesudah KTT APEC di Bogor tahun 1994, jumlah tenaga kerja asing di Indonesia justru turun, meskipun pertumbuhan ekonomi kita waktu itu rata-rata berada di angka 7 hingga 8 persen per tahun. Tahun 1995, misalnya, jumlah tenaga kerja asing 57,2 ribu. Angka itu turun menjadi 48,7 ribu pada 1996, dan turun kembali menjadi 37,2 ribu pada 1997. Itu dari sisi data jumlah tenaga kerja asing," katanya.
Fadli mengaku heran pemerintah tidak mengkoreksi bila menilai kebijakan masa lalu terkait buruh salah.
Padahal menurutnya pemerintahan yang sekarang justru bisa mengkoreksinya, itulah mengapa demokrasi mendesain diadakannya Pemilu secara berkala, yaitu supaya kita bisa mengkoreksi pemerintahan di masa sebelumnya secara periodik.
“Nyatanya, bukan di masa Presiden Soeharto terbit Permenakertrans No. 16/2015, atau Permenakertrans No. 35/2015, ataupun Perpres No. 20/2018, yang kesemuanya menyisihkan kepentingan kaum buruh lokal. Semua kebijakan tadi terbit di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.”
“Saya mendukung Perpres No. 18/2018 dicabut begitu juga aturan-aturan lain yang mengkhianati buruh dan menghambat kesempatan buruh lokal sejahtera.” pungkasnya.