TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Federasi Serikat Pekerja (FSP) Logam, Elektronik, dan Mesin (LEM) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) menentang keras keputusan Presiden Joko Widodo yang dinilai tergesa-gesa menandatangani Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA).
Ketua Umum FSP LEM SPSI, Arif Minardi mengatakan, di dalam pasal-pasal dalam Perpres tersebut selain mencederai SDM nasional juga melanggar Undang-undang Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
"FSP mengajak masyarakat untuk menggugat Perpres tersebut kepada MK. Alasan pemerintah dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri yang meminta masyarakat tidak perlu khawatir sangat gegabah dan tidak berdasar. Dengan gamblang Perpres tersebut pada prinsipnya sangat mempermudah izin bagi TKA untuk bekerja di Indonesia. Dengan Perpres tersebut praktis tidak ada lagi peraturan bagi TKA," ungkapnya dalam diskusi di kawasan Gambir, Jakarta Pusat, Senin (30/4/2018).
Perpres tersebut dianalogikan layaknya buldoser asing terhadap dunia ketenagakerjaan di Nusantara.
Peraturan yang selama ini berfungsi sebagai tanggul pencegah banjir Tenaga Kerja Asing justru jebol oleh Perpres Nomor 20 Tahun 2018.
"Semua pasal-pasal Perpres ibarat menggelar karpet merah bagi warga asing untuk bekerja mengeruk uang di Tanah Air. Sangat jelas betapa rezim sekarang sangat memanjakan pengusaha dan pekerja asing. Perpres TKA sangat merugikan kaum buruh saat ini dan generasi mendatang," ungkapnya.
Tak hanya itu, lanjut Arif, Perpres tersebut juga menimbulkan paradoks.
Selama ini, kata dia, perluasan lapangan kerja yang sering dinyatakan oleh pemerintah merupakan jenis profesi yang rentan dan kurang memiliki prospek dan daya saing global alias usang.
Karena itu, lanjutnya diperlukan pengembangan jenis profesi yang berdaya saing regional dan global.
Pemerintah pusat dan daerah harus mampu mengembangkan portofolio profesi. Jenis-jenis profesi yang menjadi kebutuhan dunia di masa depan belum dipersiapkan secara baik, sehingga serbuan TKA bisa di atasi.
"Mestinya tidak boleh lagi terjadi penyimpangan kompetensi TKA, sehingga jenis-jenis pekerjaan teknisi rendahan saja dicaplok oleh para TKA. Hal itu terlihat pada megaproyek infrastruktur ketenagalistrikan. Hal serupa juga terjadi di proyek infrastruktur jalan tol, kereta cepat, bendungan, telekomunikasi, transportasi, dan pertambangan.
Ironisnya, kata Arif, peran tenaga kerja Indonesia (TKI) dalam berbagai proyek infrastruktur hanya sebatas jenis pekerjaan kasar seperti sopir, satpam, cleaning service dan tenaga kasar nonteknis lainnya.
"Belum lagi ancaman tentang Revolusi Industri 4.0 yang sedang ramai diperbincangkan. Pada prinsipnya era tersebut ditandai dengan usaha atau langkah untuk mewujudkan smart factories yakni pabrik-pabrik dan kawasan industri yang memiliki kecerdasan tinggi," ujarnya.
Sementara, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Ferry Juliantono mengatakan, Perpres tersebut justru memuluskan TKA yang tidak memiliki kemampuan dapat dengan mudah bekerja di Indonesia.
Secara tegas, Ferry menolak diterbitkannya Perpres tersebut.
Dikatakan Ferry, hak buruh merupakan hak masa depan generasi muda di Indonesia. Ferry menyesalkan dengan adanya Perpres tersebut banyak TKA dengan mudah masuk ke Indonesia.
Menurut Ferry, Perpres tersebut mengkhianati Pasal 27 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang menjelaskan bahwa masyarakat, rakyat butuh dan berhak atas pekerjaan. Serta berpotensi melanggar konstitusi.
"Kalau kemudian ini terang-terangan negara memperbolehkan tenaga kerja asing yang unskilled labor itu menurut saya berpotensi melanggar konstitusi," tegasnya.
Ferry menyarankan, sebaiknya pemerintah lebih memberdayakan tenaga kerja Indonesia untuk meminimalisir biaya daripada menarik pekerja dari luar yang dapat menyerap biaya negara lebih mahal. (Warta Kota)