Laporan Wartawan tribunnews.com, Wahyu Firmansyah
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menggelar diskusi membahas topik pernikahan usia dini pada anak.
Diskusi menghadirkan Lenny Rosalin dari Kementerian PPPA, dr Ulla Nuchrawaty dari praktisi medis dan Ketua KUPI, Badriyah dan dihadiri Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP – RI), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Maju Perempuan Indonesia (MPI), Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
Dalam diskusi terebut Kementerian PPPA dan beberapa kelompok perempuan bersepakat perkawinan usia dini pada anak harus dicegah karena banyak menimbulkan bahaya bagi masa depan anak, keluarga, masyarakat dan negara.
Ketua Kongres Ulama Perempuan Indonesia, Badriyah mengatakan, selama ini, sebagian masyarakat Indonesia memiliki anggapan bahwa perkawinan usia dini padaa anak dapat mengentaskan kemiskinan dan sebagai jalan keluar untuk menghindari fitnah atau perzinahan.
Namun, alangkah lebih baiknya jika pernikahan dilakukan dengan persiapan matang untuk membentuk keluarga yang bahagia, sakinah, terhindar dari perceraian, dan bukan sekedar melegalkan hubungan seksual.
Baca: Pemulung Temukan Bayi dalam Kardus di Pinggir Jalan di Pancoran Mas, Depok
“Menikah itu memang sebaiknya sesuai pada kesiapan usia masing-masing individu supaya dapat menekan angka perceraian dan resiko-resiko lainnya, Intinya kita bukan melarang orang untuk menikah, namun perkawinan anak bukanlah jalan keluar untuk menghindari perzinahan dan hal negatif lainnya," ujar Badriyah di DPR RI, Jakarta, Rabu (2/5/2018).
Deputi Menteri PPPA Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Lenny Rosalin mengatakan, perkawinan dini pada anak berpotensi meningkatkan angka putus sekolah.
"Perkawinan anak perlu dicegah karena memiliki dampak, meningkatnya angka drop-out karena sebagian besar anak yang menikah di bawah usia 18 tahun adalah tidak melanjutkan sekolahnya," ujar Lenny Rosalin, DPR RI, Jakarta, Rabu (2/5/2018).
Selain itu, pernikahan dini pada anak rentan terhadap kesehatan ibu dan anak dan juga masalah ekonomi di keluarganya.
"Akibat pada kesehatan ibu dan anak, seringkali bahkan berakhir pada kematian ibu dan bayi, Dampak ekonomi yang muncul antara lain pekerja anak, dan sebagian harus terpaksa bekerja, yaitu di sektor informal dengan upah rendah dan bahkan tanpa perlindungan sosial," katanya.
Tujuan akhir Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030 tidak akan bisa dicapai jika perkawinan anak masih tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, terdapat 23 provinsi di Indonesia memiliki angka perkawinan anak di atas angka rata-rata nasional.
Lenny mengatakan, Kementerian PPPA mendorong revisi regulasi terutama fokus pada 2 poin, yakni menaikkan usia perkawinan, dan mengatur dispensasi.