TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tarik-menarik kepentingan antar-partai politik menjadikan pembahasan revisi Undang-Undang (UU) No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme berlarut-larut, hingga molor dua tahun.
Di sisi lain, Indonesia dalam kondisi darurat teror. “Sebab itu, Presiden perlu menerbitkan Perppu, karena alasan kegentingan yang memaksa sudah terpenuhi,” ungkap praktisi hukum Dr Anwar Budiman dalam keterangannya, Senin (14/5/2018).
Dalam sepekan terakhir, serangkaian aksi teror terjadi di Indonesia, mulai dari penyanderaan oleh 155 narapidana teroris di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, yang menewaskan lima polisi dan satu narapidana, disusul penusukan terhadap polisi di Mako Brimob juga yang berakhir dengan kematian polisi, dan aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, yang merenggut puluhan nyawa, disusul bom di Rusun Wonocolo, Sidoarjo, yang menewaskan tiga orang, dan Mapolrestabes Surabaya yang melukai sejumlah orang.
Polri tak mau dibilang kecolongan, karena dengan UU No 15 Tahun 2003, mereka baru bisa bertindak setelah ada peristiwa teror, tak bisa melakukan pencegahan dengan menangkapi mereka yang berafiliasi dengan organisasi teroris.
Sebab itu, Polri mendesak DPR RI segera menuntaskan revisi UU Pemberantasan Terorisme tersebut.
Anwar Budiman berpendapat, sangat kecil kemungkinannya DPR RI akan mengesahkan UU Pemberantasan Terorisme yang baru dalam waktu dekat, karena kuatnya tarik-menerik kepentingan antar-parpol, belum tarik-menarik pemerintah dengan DPR RI.
Sebab itu, ia mengusulkan Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pemberantasan Terorisme.
“Kalau terus berlarut, jangan-jangan kian banyak korban berjatuhan akibat aksi teror,” jelas pria low profile kelahiran Jakarta 1970 ini yang mengaku setuju dengan pernyataan Presiden Jokowi bahwa aksi teror tidak terkait dengan agama apa pun, karena tak ada agama yang mengajarkan kekerasan.
Dia juga setuju dengan pernyataan Presden Jokowi bila hingga akhir Juni 2018 DPR RI tak kunjung mengesahkan UU Pemberantasan Terorisme yang baru, maka Presiden akan menerbitkan Perppu.
Anwar lalu merujuk contoh langkah pemerintah menerbitkan Perppu No 2 Tahun 2017 pada 10 Juni 2017 untuk menggantikan UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), kemudian Perppu tersebut disetujui dan disahkan DPR pada 23 Oktober 2017 dan kini menjadi UU No 16 Tahun 2017.
“Kalau ada parpol yang menolak Perppu Pemberantasan Terorisme, biar publik yang menilai,” paparnya.
Anwar kemudian merujuk landasan penerbitan Perppu, yakni Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”
Landasan penetapan Perppu oleh Presiden juga tertuang dalam Pasal 1 angka 4 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
Selain dapat menangkap terduga teroris meskipun belum ada peristiwanya, dengan revisi UU atau Perppu Pemberantasan Terorisme, kata Anwar, TNI juga bisa ikut terlibat dalam pemberantasan terorisme, tanpa perlu diminta Polri terlebih dahulu. “TNI bisa proaktif, tanpa harus menunggu permintaan dari Polri dulu,” cetusnya.
Panitia Khusus (Pansus) DPR tentang Revisi UU No 15/2013 memang telah menyepakati pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Namun, aturan detail soal mekanisme pelibatan TNI harus diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres), yang berarti pelibatan TNI harus berada di bawah kewenangan Presiden karena pemberantasan terorisme merupakan tugas pemerintah.
Selain itu, institusi Polri dan TNI sama-sama berada di bawah kendali Presiden sebagai panglima tertinggi, sehingga biar Presiden yang mengatur peran tersebut dan tetap dalam koridor UU yang ada. “Apa yang sudah disepakati DPR soal pelibatan TNI hendaknya dimasukkan ke dalam Perppu,” saran Anwar.
Menurut Anwar, pasal pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme pada dasarnya mengacu pada kerangka Pasal 7 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menyatakan TNI bisa dilibatkan dalam operasi militer selain perang.
"Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Ini adalah terjemahan dari Pasal 7 ayat (2) UU TNI. Itu sudah disepakati Pansus DPR, namun detailnya akan dituangkan ke dalam Perpres," tandasnya.