TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT PLN (Persero) memberikan klarifikasi terkait seorang karyawan PLN yang diduga kuat menjadi pemodal dua terduga teroris berinisial AA (39) dan HK (38).
AA dan HK adalah dua dari tujuh terduga teroris asal Sumatera Selatan yang berencana menyerang Mako Brimob Kelapa Dua, Depok.
Kepala Satuan Komunikasi Korporat PT PLN (Persero) I Made Suprateka mengatakan, pihaknya memang tengah melakukan investigasi terhadap sejumlah nama. Satu diantaranya pegawai PLN bernama Daulay alias Opung yang bertugas di wilayah Pekanbaru.
"Kami juga sedang melakukan investigasi (terhadap) ada beberapa orang, (satu) nama Daulay ya itu, investigasinya memang ada pegawai kita bernama Daulay yang ada di salah satu rayon PLN di Pekanbaru," ujar Made, saat dikonfirmasi Tribunnews, Rabu (16/5/2018)
Made mengatakan, PLN akan secara tegas memberikan sanksi bagi pegawai yang melakukan pelanggaran aturan. Namun, sanksi tegas tersebut menurutnya harus menunggu hasil penyidikan aparat terlebih dahulu.
"Oh ya jelas (diberhentikan), jadi gini, ini kan kita nunggu dulu nih, hasil penyidikan investigasi aparat dulu sebenarnya," jelas Made.
Untuk sementara, PLN akan menonaktifkan secara sementara pegawai yang tengah dibidik aparat itu.
"Sambil menunggu hasil (investigasi) aparat itu, biasanya kita tindakan represif di awal, yaitu dengan nonaktifkan dulu dari tugas-tugasnya," tegas Made.
Jika memang nantinya pegawai yang bersangkutan memang terbukti melakukan pelanggaran disiplin kepegawaian, maka ia harus menerima konsekuensinya, Made pun menyebutkan pasal 6 ayat 10.
"Setelah itu, kalau memang sudah terbukti jika dia terlibat atau memang salah, ya itu berarti melanggar aturan disiplin kepegawaian, di dalam aturan sipil kepegawaian itu kan diatur pasal-pasalnya, khususnya pasal 6 ayat 10 perjanjian kerjasama ya," kata Made.
Dalam pasal tersebut, terkait perjanjian kerjasama yang berisi sanksi pemutusan hubungan kerja apabila pegawai melakukan pelanggaran peraturan disiplin pegawai.
"Di situ artinya dilarang untuk melakukan tindakan seperti itu, maka bilamana memang terbukti akan kita bsia terapkan (sanksi) mengacu pada peraturan disiplin pegawai maka bisa sanksinya sampai pada pemutusan hubungab ekrja," papar Made.
Menurut Made, Daulay merupakan pegawai yang telah bekerja sejak tahun 1996 silam, kendati demikian, ia mengaku tidak tahu latar belakang akademis sosok yang diduga menjadi donatur para teroris asal Pekanbaru itu.
"Tahun 96 ya, ya tahun 96 kalo nggak salah ya, wah saya kurang tahu kalau (terkait dia lulusan universitas mana) itu," pungkas Made.
Sebelumnya, Densus 88 Antiteror dan Polsa Sumatera Selatan (Sumsel) telah menangkap dua orang terduga teroris asal Pekanbaru, Riau pada Senin lalu, 14 Mei 2018.
Kedua terduga teroris itu yakni Heri Hartanto alias Abdul Rahman (39) dan Hengki Satria alias Abu Ansyor (38).
Saat diinterogasi langsung oleh Kapolda Sumsel Irjen Pol Zulkarnain Adinegara, kedua terduga teroris itu mengaku sudah menghilangkan makna Pancasila dalam hidup mereka.
"Mereka hapal Pancasila, saya juga tanyakan mereka tentang makna Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi makna dari seluruh silanya mereka hilangkan," ujar Zulkarnain, di Palembang, pada Selasa kemarin (15/5/2018).
Satu dari kedua terduag teroris tersebut mengaku ada yang menjadi menyandang dana terkait kegiatan mereka. Penyandang dana tersebut disebut bekerja di salam satu perusahaan BUMN.