Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menegaskan, aksi terorisme yang baru-baru ini terjadi di beberapa wilayah Indonesia, harus dipelajari lebih dalam asal muasalnya. Sehingga, dengan mengetahui asal muasalnya, dapat diketahui moif dari tindakan tersebut, apakah skenario yang ingin memecah belah Indonesia atau bukan.
“Kita harus memeriksa dan melihat dari mana tindakan terorisme ini muncul. Belakangan ini kita melihat keadaan cukup kondusif dan damai, kita harus melihat dari mana asal-muasalnya. Jangan sampai ini menjadi bagian dari suatu skenario, yang bisa saja dari luar untuk memecah belah Indonesia. Sehingga ini harus dipelajari,” kata Fadli usai menerima Persaudaraan Alumni 212 di ruang kerjanya, Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (17/5/2018).
Ia berpendapat, semua tokoh-tokoh dan lembaga yang menyangkut institusi agama Islam selalu mengajarkan kedamaian. “Pada puncak kegiatan 212 pada tahun 2016 ada 7 juta orang yang berkumpul, tetapi tidak terjadi apa-apa. Padahal disitu kalau mau ada revolusi, dan rusuh, saya kira pemerintah tidak mampu mengatasi. Tetapi pada saat ini, kondisi damai malah tiba-tiba muncul terorisme,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia tidak ingin pemberantasan terorisme merugikan pihak tertentu seperti santri yang ingin ke pesantren, atau perempuan bercadar, yang kemudian harus selalu diperiksa. Sehingga akan tercipta islamophobia dan masyarakat akan saling curiga.
“Kita tidak ingin pemberantasan terorisme ini merugikan masyarakat. Jangan sampai nanti ada pelembagaan islamophobia, karena jika terjadi orang akan saling curiga dan akan menimbulkan keresahan,” papar politisi Partai Gerindra itu.
Dalam pertemuan ini, Persaudaraan Alumni 212 menginginkan agar kegiatan terorisme jangan disangkutkan dengan Islam dan juga usulan agar dibentuknya pansus terkait yang terjadi di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok.
Selain itu juga dibahas masalah tenaga kerja asing, bahaya komunisme serta pemindahaan kantor kedutaan besar Amerika dari Tel Aviv ke Yerusalem di Palestina. Mereka meminta agar pemerintah melakukan tindakan diplomasi yang lebih tegas. (*)