Ia mengatakan, pelibatan TNI bisa dilakukan dengan basis peristiwa di mana Polri tak memiliki keahlian untuk menanganinya.
Arsul mencontohkan, TNI bisa dilibatkan dalam pemberantasan terorisme pada peristiwa pembajakan kapal laut dan pesawat.
TNI bisa dilibatkan dalam pemberantasan terorisme berdasarkan skala ancaman yang terjadi.
Hal itu, kata Arsul, bisa dibahas dalam peraturan presiden (Perpres) setelah Undang-undang Antiterorisme yang baru disahkan.
Dalam membuat Perpres pelibatan TNI, nantinya pemerintah akan berkonsultasi dengan DPR.
"Dalam Perpres itu nanti jelas, peristiwa terorisme seperti apa yang diminta TNI (menangani). Atau berbasis skala ancaman," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/5/2018).
Ia mencontohkan, dalam aksi terorisme dengan pembajakan kapal, di mana kapal bergerak ke arah luar wilayah kedaulatan negara, maka di situ jelas menjadi kewenangan TNI untuk menindak.
Arsul menambahkan, dengan kelengkapan Perpres terkait pelibatan TNI, maka jika ada aksi terorisme yang genting dengan skala ancaman yang tinggi, maka TNI bisa langsung diturunkan tanpa Presiden perlu berkonsultasi dengan DPR.
"Kemudian harus datang dulu ke DPR, kalau DPR lagi reses nanti terorismenya harus menghilang kemana? Makanya kemudian di dalam RUU Antiterorisme itu diinisiasi penafsiran sempit atas kebijakan politik negara itu dalam bentuk Perpres," lanjut Arsul. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Moeldoko: Siapa yang Enggak Takut Koopsusgab, Hayo Ngomong..."