Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Reformasi Indonesia sudah berjalan lebih dari dua puluh tahun, sebagai buah dari perjuangan mahasiswa dan elemen rakyat lainnya yang bersatu padu meruntuhkan rezim otoritarianisme.
Radikalisasi pemikiran di kalangan terpelajar, kaum buruh, petani dan kaum miskin kota, saat itu telah melahirkan sebuah aksi kolektif yang mencapai perubahan mendasar, yaitu pergantian kepemimpinan nasional yang selama 32 tahun tidak terjadi.
Sejak kelahirannya, 98 adalah gerakan yang mengoreksi total hampir keseluruhan praktek kehidupan bernegara antara lain authoritarianism, korupsi, kolusi dan nepotisme.
Mengingat begitu kuatnya “tembok kekuasaan” yang harus dihadapi, maka 98 tidak mungkin menjadi gerakan massif yang melibatkan keseluruhan komponen masyarakat tanpa adanya upaya-upaya radikalisasi di sejumlah kampus perguruan tinggi maupun basis-basis perlawanan komponen masyarakat lainnya.
Baca: Warung yang Pukul Konsumen Dengan Harga Selangit Disebut Sepi Pembeli
"Menolak Radikalisme berarti menolak 'jati diri' dari 98 itu sendiri," tegas aktivis 98, Edysa Girsang dalam jumpa pers di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (25/6/2018).
Edy menambahkan, radikalisme 98 tidak terkait dengan perkembangan ideologi-ideologi “trans-nasional” yang belakangan berkembang biak di sejumlah negara termasuk Indonesia.
"Radikalisme 98 adalah suatu sikap, tindakan, khas anak muda Indonesia yang ingin melakukan perubahan hingga ke akar-akar dan segera. Kemerdekaan Indonesia bukan karena adanya ideologi yang mapan, bukan karena pemberontakan militer bersenjata, melainkan karena Adanya anak-anak muda yang radikal," papar Edysa Girsang.
Lebih lanjut, gerakan 98 sebagai gerakan moral politik memang tidak sepenuhnya gagal, namun belum berjalan ke tujuan yang kita inginkan.
Pasalnya, lanjut Edy, secara politik dan demokrasi yang prosedural telah dipenuhi lewat Pemilu maupun Pilkada, tapi secara esensi tidak menghasilkan produk pemimpin dan wakil rakyat yang mumpuni, melainkan justru semakin banyak yang melakukan korupsi.
"Tengoklah berapa banyak pejabat daerah yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK dalam tahun 2018, menandakan para politisi tidak kunjung jera terhadap hukuman yang diarahkan padanya," jelas Edy.
Edy juga menyayangkan tentang kebisingan yang tidak substantive atas figure yang dibingkai dalam hiper realitas media social.
Hal ini seolah merupakan kebenaran yang hakiki, yang menjadi jawaban terhadap berbagai persoalan ekonomi, politik dan social dalam masyarakat.
"Permasalahan bangsa seolah hanya direpresentasikan oleh tindak tanduk dua makhluk yang saling menuding satu sama lain," terang Edy.
"Upaya mempertanyakan kebijakan dianggap sebagai haters, atau sebaliknya prestasi kolektif hanya diclaim sebagai milik perorangan politisi," tutupnya.