TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan membeberkan mantan kader partainya, Lucky Hakim, pindah ke partai lain karena diberikan uang sebesar Rp 5 miliar.
Menanggapi hal ini, peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengaku prihatin soal dugaan transfer fee caleg ini.
Menurutnya, jika diawal sang calon wakil rakyat sudah dibayar untuk menetukan sikap politiknya, bukan tak mungkin cara ini justru bisa melanggengkan dugaan praktik korupsi.
"Caleg atau partai seperti ini ke depannya akan bisa dengan mudah melanggengkan korupsi, karena uang jadi ukuran sekaligus dasar dalam membuat keputusan," kata Lucius.
Untuk itu Lucius meminta supaya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) turun tangan untuk memberikan pengawasan.
Selain itu, perlu dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menjadi kategori gratifikasi.
Menurutnya, KPK juga bisa hadir dalam persoalan ini karena bicara peran pencegahan korupsi sejak proses awal rekrutmen calon legislatif.
"Perlu lapor ke KPK. Tapi tak hanya KPK, Bawaslu sebagai pengawas pemilu juga harus turun tangan mencari tahu kebenaran isu transfer fee ini," kata Lucius.
Sebelumnya diberitakan, Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan transfer fee caleg termasuk bagian gratifikasi.
Praktik tersebut sehrausnya dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Itu gratifikasi lho, harus dilaporkan ke KPK. Kalau tidak bisa jadi kasus hukum," ujar Arsul di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/7/2018).
Arsul mengaku mendengar juga perihal adanya transfer fee calon anggota legislatif yang pindah partai.
Namun, dia berujar tak ingin menuding siapa pun terkait polemik itu.
"Saya enggak akan menuding walaupun saya mendengar juga," kata Arsul.