TRIBUNNEWS.COM - Bendera pusaka asli sekarang sudah tidak dapat dikibarkan lagi karena sudah terlalu tua.
Sebagai gantinya dibuat Duplikat Bendera Pusaka.
Ternyata membuat duplikat tidak semudah yang dibayangkan orang.
M. Dip. S. pernah mengisahkan liku-liku pembuatannya dalam Intisari November 1971.
Bagaimana perjalanan panjang proses pembuatannya? Begini penjelasannya
Perlu survei
Ide pertama adalah dari bapak Presiden Suharto yang melalui Departemen Perindustrian menginstruksikan kepada Institut Tekhologi Tekstil di Bandung untuk melaksanakannya.
Itu terjadi pada bulan September 1968 dan harus dapat selesai untuk dikibarkan pada peringatan 17 Agustus tahun berikutnya.
Kalau soal benderanya memang tidak kelihatan adanya keanehan tetapi karena ketentuan yang harus dipenuhi menyebabkan kami harus bekerja dengan hati-hati.
Survei segera diadakan untuk mendapatkan bahan baku yang harus Sutera Alam dari Indonesia sendiri dan mesin yang akan dipakai untuk itu, sebab pada saat itu I.T.T. belum memiliki mesin tenun khusus untuk benang-benang filamen.
Harus ada orang tidur di bawah mesin
Warna merah dan putih dari bendera tidak boleh disambung dengan cara djahit. Ini merupakan ketentuan yang unik yang harus dilaksanakan.
Percobaan segera dilakukan dengan bahan kapas dan kedua dengan bahan rayon yang mempunyai sifat-sifat hampir sama dengan Sutera.
Dari pengalaman itu ternyata pelaksanaannya tidaklah semudah yang kami perkirakan sebelumnya, sebab bagi tukang tenun dengan dibuatnya dua lembar kain dalam satu mesin sekaligus sukar dapat mengontrol defect (kesalahan tenun) yang berada di lembar kain bawah.
Akhirnya dengan terpaksa maka diputuskannya bahwa tukang tenun dibantu oleh orang yang harus tidur di bawah mesin untuk mengawasi kain bawah.
Baca: Besok Bertugas, Ini Fakta-Fakta Paskibraka, Ada Hukumannya Jika Bendera yang Dikibarkan Terbalik
Sulit mencari sutera baik
Selain itu untuk proses-proses persiapannya, ITT dengan bekerja lama dengan sebuah perusahaan di Ciawi Bogor pun memperoleh kesukaran-kesukaran yang disebabkan kurang baiknya bahan Sutera yang dikerjakan.
Maklumlah Sutera-sutera tersebut dibuat oleh Industri-industri rumah tangga sehingga ketentuan standar kurang diperhatikan.
Dari hasil survei yang diadakan kedaerah penghasil Sutera Alam maka ternyata persediaan sangat minim dan kualitasnyapun tidak memenuhi standar yang diperlukan, ini jang membuat kami lebih prihatin lagi.
Tukang tunggu yang tahan harga
Sekarang soal teknis sudah teratasi. Meski dengan mesin tenun katun pembuatan duplikat toh dapat juga walau tidak sempurna, dan bendera pasti dapat berkibar tepat pada waktunya.
Perkiraan kami kalau mengganti bendera asli hanya dibutuhkan sebuah saja dan paling banyak ya 3 buah untuk dapat dipilih, malah ITT kala itu membuat untuk 12 bendera.
Dari schedule rencana pasti dapat selesai pertengahan bulan Juli dan mungkin bila mau ngebut malah lebih awal lagi.
Tapi dengan tiba-tiba saja instruksi dari pusat berubah hingga bendera yang dibutuhkan menjadi bukan 3 tetapi 30 (tiga puluh).
Angkanya sederhana tapi akibat yang harus dapat diatasi bukan main susahnya, sedang waktu itu sudah bulan April.
Terpaksa kerja harus 24 jam sehari dan semua mesin-mesin katun dibuat harus dapat dipakai untuk sutera.
Wanitapun diminta keikhlasannya masuk kerja tanpa batas waktu dan barang tentu dengan pengawasan yang ketat.
Di tengah-tengah kesibukan itu tahu-tahu setiap tengah malam mesin-mesin tenun tidak mau jalan, ada saja sebab-sebabnya.
Salah seorang tukang tenun yang tertua menghadap penulis, lapor kalau mesin tidak mau jalan karena yang “tunggu" ngambeg, lantaran kita semua kerdja melebihi waktu tanpa minta izinnya.
Disinilah kami repot mengatasinya sebab bukan soal percaya atau tidak karena itu psikologis sudah mempengaruhi alam pikiran mereka yang dalam hal ini justru merekalah faktor penentu.
Jalan keluar kami dapat dengan mengeluarkan segera insentif yang cukup. Ternyata besoknya ada pengaruhnya dan mesin tidak pernah berhenti lagi. Untuk sementara ketegangan mereda.
Malam hujan tangis
Persoalan menjahitpun bukanlah enteng karena selain diburu waktu juga lembutnya sutera menyebabkan bila mau dipotong atau pun dijahit bak putri yang ditawari kawin saja. Kletat kletet kata orang jawa.
Disinipun putri-putri terpaksa kerja malam dan bahkan sampai pagi.
Kala itu sudah tanggal 8 Agustus 1969, entah karena capai atau ikut merasa diburu-buru hingga mudah tersinggung, pada tengah malam semua karyawati pada nangis. Kami jadi repot dibuatnya.
Usut punya usut ternyata selisih pendapat antara pengatur dengan pelaksananya yang masing-masing punya pengikut sehingga nangis itu jadinya. Untung akhirnya dapat diakurkan lagi tapi terpaksa grupnya dipisahkan dan pekerjaan dapat berjalan normal lagi.
Terlambat diserahkan pada Gubernur-gubernur
Akhirnya tanggal 14 Agustus semua telah selesai meskipun terpaksa terlambat untuk upacara penyerahan kepada para Gubernur yang pada waktu itu kebetulan ada rapat kerja di Jakarta, sehingga hanya secara simbolik yang diwakilkan pada tiga Pangkowilhan.
Kami merasa terharu meskipun hanja dari layar T.V. dapat melihat akhirnja Duplikat Sang Saka Merah Putih dapat berkibar menggantikan yang asli pada Upatjara Peringatan Detik-detik Proklamasi di Istana Negara, walaupun oleh sementara wartawan diberitakan bahwa Duplikat tersebut dibuat oleh suatu perusahaan Swasta Nasional.
Yang betul adalah dibuat oleh Institut Teknologi Tekstil Bandung dengan dibantu oleh P.T. Ratna di Ciawi Bogor.
Perlu kami sampaikan bahwa hingga kini telah dibuat Duplikat dengan ukuran Persis dengan aslinya jaitu 178 cm x 274 cm setiap bendera.