TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Direktur Bina (Dirbina) Haji dan Umrah Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) Kementerian Agama (Kemenag) Arfi Hatim meresmikan pembukaan Musyawarah Kerja (Muker) Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (HIMPUH) tahun 1440 H/2018 M yang bertema ‘Mengantisipasi dan Memenangi Masa Depan’ Senin (24/9/2018) malam, di Intercontinental Hotel, Bandung, Jawa Barat.
Arfi yang datang mewakili Dirjen PHU Nizar Ali itu berharap, agar Muker HIMPUH dapat menghasilkan rekomendasi dan masukan-masukan yang konstruktif, inovatif, untuk perbaikkan penyelenggaraan ibadah haji khusus dan umrah ke depan.
”Hasil-hasil Muker ini baik haji khusus mau pun umrah nanti disampaikan kepada kami Ditjen PHU, kita akan bahas bersama-sama pada saat evaluasi penyelenggaraan haji bersama para asosiasi yang ada. Apa yang perlu kita akomodir, setelah musyawarah, ya kita akomodir untuk perbaikkan,” ujar Arfi usai membuka Muker HIMPUH tahun 1440 H/2018 M.
Terkait dengan adanya aturan yang mengharuskan para jamaah umrah melakukan rekam biometrik (sidik jari dan retina mata) sebagai rangkaian untuk mendapatkan visa Umrah dari Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta, Arfi mengaku, Kemenag dalam hal ini Ditjen PHU belum mendapatkan laporan mau pun tembusan baik dari pihak Kedutaan Besar Arab Saudi mau pun pihak VFS Tasheel selaku pelaksana ketentuan tersebut.
“Saya tidak mengatakan hal itu ilegal. Hanya, sampai saat ini belum ada yang melaporkan adanya peraturan tersebut kepada kami di Kemenag, baik dari Kedutaan Besar Arab Saudi mau pun dari Kementerian Luar Negeri kita,” tegas Arfi.
Ditambahkan Arfi, jikalau suatu saat nanti ada tembusan atau laporan ke Kemenag, Arfi mengatakan pihaknya akan mensikronisasikan dengan aturan yang ada di Kemenag.
“Kalau memang sudah ada, itu kan mandatori jadinya, kita akan lihat bagaimana nanti kita bicara teknisnya. Dan akan kita sinkronkan dengan aturan kita. Kita sesuaikan regulasi kita. Kan kita punya aturan sendiri, dan akan kita sinkronkan dengan Tasheel kalau ada nanti. kita ini kan tempatnya forward macam-macam, diombang-ambingkan dengan berbagai informasi yang belum jelas. Saya tegaskan, sudah, teman-teman penyelenggara berjalan saja seperti biasa tidak usah dipusingkan,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum (Ketum) HIMPUH H Baluki Ahmad mengatakan, tidak terlalu mempersoalkan hal itu. Hanya saja, dia tak ingin penerapan aturan baru yang akan mulai diberlakukan pada 24 Oktober 2018 itu dimanfaatkan oleh pihak tertentu dalam mencari keuntungan.
“Selaku asosiasi kami menolak, tapi dengan catatan kalau VFS Tasheel itu tidak merupakan mandatori Kerajaan Arab Saudi. Namun, jika hal itu benar mandatori dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, maka mekanismenya harus diselesaikan dengan baik, karena yang diterapkan sekarang ini sangat memberatkan dan merugikan calon jamaah jika biometrik itu nantinya akan dilakukan di Ibukota Provinsi,” terangnya.
Jika itu benar legalitas dan resmi dari Kerajaan Arab Saudi guna persyatan pengajuan visa, maka Baluki mengusulkan, hal itu dilakukan di embarkasi umrah saja dan bukan sebagai persyaratan pengajuan visa. Karena hanya ada enam embarkasi provinsi keberangkatan umrah.
“Jika alasannya karena antrean panjang hingga dua jama lamanya saat pemeriksaan di Imigrasi Jeddah atau Madinah, kami lebih memilih antrean dua jam tersebut, ketimbang memakan waktu berhari-hari saat pengurusan di Ibukota Provinsi. Bayangkan, kalau ada jamaah yang dari pelosok, harus ke Ibukota Provinsi, memakan waktu perjalanan seharian, setibanya di sana, kantornya sudah tutup, mau menginap di mana itu calon jamaahnya? Kan sudah jelas sangat membuang waktu,” tandas Baluki.