"Konsep-konsep baru itu akan dihadirkan dalam buku berjudul 'Indonesia Unggul Prasyarat Ketahanan Nasional', konsep yang juga di dalamnya menggabungkan spiritualisme dan rasionalisme," kata Bambang Parma
Dalam tanggapannya, I Dewa Putu Rai mengharapkan agar ketahanan nasional yang disusun DPS, dapat berkontribusi langsung pada konsepsi dan doktrin ketahanan nasional dan kondisi ketahanan nasional.
Diharapkan mampu memberi masukan berupa pemikiran secara update sesuai perkembangan kekinian. Juga memberi masukan terhadap penguatan kondisi ketahanan agar menjadi tangguh.
Sekalipun demikian, I Dewa Putu Rai juga mengapresiasi penggunaan paradigma berfikir yang bersumber dari Pancasila dengan pendekatan budaya dan peradaban.
Pendekatan ini sebagaimana ia kutip dari Yudi Latif, perlu memaksimalkan tiga rejim yang ada agar ketahanan nasional yang disusun dapat diaplikasikan.
"Ketiga rejim itu adalah rejim pembuatan kebijakan, dan rejim produksi", kata I Gede Putu Rai.
Yani Antariksa mengharapkan adanya kreativitas dan inovasi pemikiran baru dalam membangun ketahanan nasional yang baru sebab sudah menjadi realitas jika ketahanan nasional seperti saat ini, juga mengalami proses evolusi.
Misalnya saja, pada tahun 1965, ketahanan nasional masih menggunakan konsep kekuatan. Tahun 1968-1969 menggunakan konsep ketahanan. Tahun 1972 memasukkan memasukkan Ipoleksosbud. Tahun 1973 konsepsi Tannas dimasukkan dalam GBHN.
"Kreatif yang dapat mengubah konsep kekuatan pertahanan menjadi national power", kata Yani Antariksa.
Sementara itu Achmad Chodjim menyatakan jika ketahanan nasional harus tetap bertumpu pada pemberdayaan militer yang didukung oleh kekuatan nir-militer.
"Ketahanan nasional yang ada bertumpu pada penguatan astagrata yaitu demografi, geografi, SKA, idiologi, politik, ekonomi, sosbud dan hankam," katanya.
"Penguatan ini perlu dijabarkan secara tegas agar dapat direalisasikan dengan benar", kata Achmad Chodjim.