TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diminta melakukan audit anggaran Kementerian Pertanian. Pasalnya, kenaikan anggaran dinilai tidak berkorelasi positif terhadap polemik data pangan.
Pengamat Fiskal dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Rony Bako, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (6/10/2018) mengatakan, kenaikan anggaran harus diuji dengan dengan output yang dihasilkan, yakni peningkatan hasil produksi pertanian, terutama tanaman pangan. "Kita masih impor (pangan), padahal anggaran sudah banyak (keluar). Berarti Kementerian tidak optimal."
Dikatakannya, anggaran Kementerian Pertanian 2017 naik signifikan di 2018 hingga 57,22 persen. Pada 2017. Anggaran untuk Kementerian Pertanian pada APBN dialokasikan sebesar Rp24,15 triliun, kemudian melonjak menjadi Rp37,97 triliun.
Rony mengingatkan, kinerja pertanian dapat dilihat dari beberapa indikator. Pertama mengenai kesejahteraan petani. Kedua mengenai kemampuan konsumen untuk membeli komoditas.
Ia mencontohkan, Nilai Tukar Petani (NTP) petani pangan, khususnya padi, harusnya bertambah cukup banyak. Sementara itu, harga beras di tingkat konsumen juga harus terjaga.
Baca: Mardani Yakin Yusril Tak Bakal Banyak Pengaruhi Elektabilitas Jokowi-Maruf
Berdasarkan data BPS, Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pada Oktober 2018 justru turun 0,14 persen secara bulan ke bulan, ke angka 103,02 dibandingkan September 2017. Penurunan disebabkan indeks harga yang diterima petani lebih kecil dari kenaikan indeks harga yang dibayar petani.
Dihubungi terpisah, Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai rencana impor jagung memperlihatkan lemahnya manajemen data yang dimiliki Kementan.
“Kemarin, mereka (Kementan-red) bilang kita surplus jagung, sekarang minta impor jagung. Artinya, kita memang kekurangan jagung,” kata Uchok, di Jakarta.
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Besarnya Anggaran Dinilai Tidak Sesuai Kinerja, BPK Diharap Audit Kementan,