Putusan tersebut berawal saat staf honorer di SMAN 7 Mataram Nusa Tenggara Barat itu, merekam pembicaraan telepon HM dengan dirinya yang diduga mengandung unsur asusila. HM merupakan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram.
Pada 2014 lalu, seorang rekan Baiq Nuril bernama Imam Mudawim meminjam telepon genggamnya dan menyalin rekaman pembicaraan Baiq Nuril dengan Muslim. Setelah disalin oleh Imam Mudawim, rekaman tersebut disebarkan dan seketika menyebar luas ke sejumlah guru maupun siswa.
Di penghujung 2014, HM sang Kepala sekolah lalu melaporkan Baiq Nuril ke kepolisian karena merasa namanya telah dicemarkan lewat rekaman tersebut.
Baiq Nuril mendapatkan tuduhan atas dugaan tindak pidana mentransmisikan rekaman elektronik yang bermuatan kesusilaan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ITE. Sejak saat itu, Baiq Nuril resmi dipenjara sambil menjalani proses persidangan.
Pada sidang Juni 2017 di PN Mataram, Baiq Nuril dituntut oleh jaksa penuntut umum yakni Julianto dan Ida Ayu Putu Camundi Dewi dengan tuntutan pidana 6 bulan penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Sebulan kemudian. Ketua Majelis Hakim PN Mataram NTB, Albertus Husada dalam sidang putusan Baiq Nuril yang digelar secara terbuka di Pengadilan Negeri Mataram menyatakan Baiq Nuril dinyatakan tidak bersalah, tidak melanggar Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Namun, pada September 2018 Mahakamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Mataram NTB dan membatalkan putusan PN Mataram sebelumnya yang memvonis bebas Baiq Nuril.