TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tsunami yang menghantam kawasan Selat Sunda pada Sabtu malam (22/12) mengejutkan banyak pihak lantaran tak terdeteksi oleh alat detektor atau seismograf yang dimiliki Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam konferensi pers Senin (24/12) baru bisa memastikan penyebab tsunami yang menyebabkan 373 orang meninggal, bersumber dari kolapsnya sisi barat Gunung Anak Krakatau akibat erupsi.
"Longsoran itu setelah dianalisis setara dengan kekuatan guncangan magnitudo 3,4. Itu analisis kami dan episenternya ada di Anak Krakatau," ungkap Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam jumpa pers di Jakarta.
"Sehingga kami tegaskan fenomena di Selat Sunda ini tidak lazim dan kompleks, multifenomena," sambungnya.
Hasil penelitian bersama yang dilakukan BMKG, Badan Geologi, dan juga sejumlah pakar dari LIPI menyebutkan fenomena erupsi Gunung Anak Krakatau terjadi pada pukul 21.03 WIB.
Kira-kira 24 menit setelahnya terjadi tsunami dengan ketinggian 0,9 meter yang menerjang tiga lokasi di antaranya Banten, Serang, dan Bandar Lampung.
Setelah kejadian ini, BMKG segera meminta PVMBG memantau ketat gunung tersebut sebagai antisipasi. Kalau perlu memasang tidal gauge yang bisa membaca air pasang atau surut di pantai.
"Kalau air naik akibat erupsi, batuan runtuh akan segera terbaca tidal gauge. Sehingga diperkirakan ada waktu 20 menit bisa mendahulukan tsunami," imbuhnya.
"Sebab BMKG itu hanya memantau dan memberikan informasi dini tsunami khususnya akibat gempa tektonik," sambung Dwikorita.
Baca: Saya Sangat Bersyukur, Allah Telah Menyelamatkan Istri dan Anak Saya dari Tsunami
Sejumlah bukti yang dipakai untuk mendukung simpulan BMKG adalah foto citra satelit yang menunjukkan luas areal kolaps Gunung Anak Krakatau mencapai 64 hektar.
Deputi Infrastruktur Kemenko Maritim, Ridwan Djamaludin, mengatakan Gunung Anak Krakatau memang dalam kondisi aktif meski erupsinya tak meluncukan awan panas.
Dari foto citra satelit memperlihatkan kondisi gunung saat sebelum dan sesudah tsunami. Dimana pada 1 Desember, massa gunung masih utuh. Kemudian pada 23 Desember, bagian sebelah barat kolaps.
Demi memastikan hal itu, pemerintah akan menurunkan tim survei ke bawah laut Selat Sunda. "Kalau longsor besar, itu ada material di bawah laut. Untuk survei ini masih menunggu kondisi aman," ujarnya.
Ke depan, pemerintah bakal menata kawasan pesisir termasuk di dalamnya wilayah pariwisata. Cara ini, menurutnya, sebagai antisipasi masyarakat terhadap bencana sembari menunggu penelitian komprehensif tentang tsunami yang ditimbulkan gunung berapi.