Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Merry Purba, terdakwa penerima suap dari Tamin Sukardi, mengalami depresi karena harus menjalani proses hukum.
Efendy Simanjuntak, selaku penasihat hukum Merry mengungkapkan kondisi kliennya tersebut.
"Dia agak depresi, karena tekanan begitu hebat. Jadi susah tidur," kata Efendy Simanjuntak, ditemui di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (14/1/2019).
Setelah menderita depresi, Efendy mengaku, kliennya sempat beberapa kali mengunjungi psikiater untuk menjalani pengobatan.
Baca: Tak Diperpanjang di Persib Bandung, Atep Terkejut dan Menangis di Depan Rekan-rekannya
"Jadi psikiater, sudah beberapa kali. Iya, sejak kasus ini," katanya.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menggelar sidang beragenda pembacaan surat dakwaan atas nama terdakwa Merry Purba selaku Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan.
Baca: Tanggapi Pelaporan ke Bawaslu soal Tabligh Akbar PA 212 di Solo, Gerindra: Mbok Jangan Lebay
Sidang digelar di R. Wirjono Projodikoro 1, Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Senin (14/1/2019) siang.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK menyebut Merry menerima uang dari Tamin Sukardi, terdakwa korupsi penjualan tanah yang masih berstatus aset negara.
Uang itu diberikan melalui Helpandi, selaku Panitera Pengganti PN Tipikor Medan.
Pemberian hadiah tersebut berasal dari Tamin Sukardi melalui Hadi Setiawan, di mana jumlah keseluruhan uang yang diterima oleh Helpandi sebanyak SGD 280.000.
"Melakukan atau turut serta melakukan, menerima hadiah atau janji yaitu menerima hadiah berupa uang sebanyak SGD 150.000 atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut yang diterima melalui Helpandi untuk kepentingan terdakwa Merry Purba," kata JPU pada KPK, ditemui di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Senin (14/1/2019) siang.
Baca: KPU: Semua Isu Terkait Pilpres Sudah Dijelaskan Rinci
Suap diberikan dengan tujuan agar Merry Purba memberikan keringanan hukuman kepada Tamin selaku terdakwa korupsi penjualan tanah yang masih berstatus aset negara.
Perkara tersebut, yakni dugaan korupsi terkait pengalihan tanah negara atau milik PTPN II Tanjung Morawa di Pasar IV Desa Helvetia, di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Merry Purba merupakan salah satu anggota majelis hakim yang menangani perkara Tamin.
"Bahwa terdakwa Merry Purba mengetahui atau setidak-tidaknya dapat menduga uang sebanyak SGD 150.000 yang diterimanya melalui Helpandi untuk mempengaruhi putusan perkara tindak pidana korupsi atas nama Tamin Sukardi Nomor: 33/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Mdn yang sedang diadili/disidangkan di Pengadilan Tiikor pada PN Medan agar menjatuhkan putusan bebas," kata Jaksa pada KPK.
Baca: Dekat dengan Cowok Malaysia, Evelyn Nada Anjani Akui sebagai Teman Tapi Mesra
Upaya pemberian uang itu dinilai mempengaruhi Merry sehingga akhirnya membuat pernyataan Dissenting Opinion atas kasus Tamin.
"Hal ini sesuai dengan pernyataan Dissenting Opinion dari terdakwa Merry Purba yang membebaskan Tamin Sukardi dari segala dakwaan dan tuntutan Penuntut Umum," ujar Jaksa pada KPK.
Atas perbuatan itu, terdakwa didakwa melakukan pelanggaran tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 12 huruf c Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Dalam kasus dugaan suap kepada hakim PN Medan terkait penanganan perkara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan, KPK menetapkan Hakim Ad Hoc PN Medan, Merry Purba (MP) sebagai tersangka bersama Helpandi (HK) selaku Panitera Pengganti (PP) PN Medan serta Direktur PT Erni Putra Terari, Tamin Sukardi, dan Hadi Setiawan selaku orang kepercayaan Tamin.
Merry diduga menerima suap sejumlah SGD280.000melalui Helpandi dari Tamin Sukardi bersama Hadi.
Suap ini diberikan agar Tamin divonis ringan dalam kasus korupsi penjualan tanah aset negara senilai Rp132 miliar lebih.
Dalam vonis yang dibacakan pada tanggal 27 Agustus 2018 ini, Merry menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion) bahwa penjualan tanah senilai Rp132 miliar lebih itu bukan merupakan tindak pidana korupsi.
Adapun jaksa penuntut umum meminta majelis hakim memvonis Tamin 10 tahun pidana penjara, denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp132 miliar.
KPK menyangka Tamin Sukardi dan Hadi Setiawan diduga selaku pemberi suap melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan terhadap Merry Purba dan Helpandi diduga selaku penerima suap disangka melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.